Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PALANGKARAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
9/Pid.Pra/2023/PN Plk ANDRI J.A ENGKANG Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, Direktorat Kriminal Umum Subdit III Jatanras. Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 10 Nov. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 9/Pid.Pra/2023/PN Plk
Tanggal Surat Jumat, 10 Nov. 2023
Nomor Surat S.TAP/89/X/RES.1.11/2023
Pemohon
NoNama
1ANDRI J.A ENGKANG
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, Direktorat Kriminal Umum Subdit III Jatanras.
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRA PERADILAN

 

Bahwa PERMOHONAN PRAPERADILAN ini diajukan berdasarkan Ketentuan Pasal 77 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

 

Pasal 77 KUHAP :

 

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

            Pasal 79 KUHAP :

 

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh Tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 21/PUU-XII/2014 yaitu :

Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

 

 

FAKTA-FAKTA HUKUM

 

Bahwa PEMOHON (ANDRI J.A ENGKANG) adalah seorang warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai Wiraswasta sebelumnya sebagai karyawan PT Sepalar Yasa Kartika pada Estate Basarang Kabupaten Kapuas dalam hal ini sebagai Manager BSE PT Sepalar Yasa Kartika pada Estate Basarang, Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas. Hal mana PEMOHON telah dituduh melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHP Jo Pasal 374 KUHP, dan kepada Pemohon dilakukan penetapan sebagai tersangka dari tanggal 6 oktober 2023, dengan fakta-fakta hukum sebagai berikut :

 

Bahwa pada hari jumat, tanggal 26 Mei 2023 Pemohon mendapat surat dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Tengah dengan perihal Permintaan Keterangan, yang didalam surat tersebut mengacu pada rujukan, Laporan Polisi Nomor LP/B/52/IV/2023/SPKT/POLDA KALIMANTAN TENGAH TANGGAL 4 april 2023 Tentang Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHPidana Jo Pasal 374 KUHPidana, dan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sp.Lidik / 103 / IV / RES.1.11 / 2023 / Ditreskrimum, tanggal 18 April 2023;

 

Bahwa pada hari Selasa tanggal 17 Oktober sekitar Jam 21.30 WIB, bertempat di Ruang Riksa Subdit III Jatanras Ditkrimum Polda Kalimantan Tengah, telah dilakukan penangkapan terhadap PEMOHON oleh TERMOHON, yaitu :

 

Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/86/X/RES.1.11./2023/Ditreskrimum, tertanggal 17 Oktober 2023;

 

Bahwa sebelumnya PEMOHON telah di Panggil oleh TERMOHON untuk diminta keteranganya sebagai Saksi dengan Surat Panggilan Permintaan Keterangan Nomor.B/1056/RES.1.11./2023/Ditreskrimum tertanggal 26 Mei 2023 dengan Rujukan Laporan Polisi Nomor : LP/B/52/IV/2023/SPKT/POLDA KALIMANTAN TENGAH dengan Pasal 378 Jo Pasal 374 KUHPidana;

 

Bahwa Sebelumnya PEMOHON telah dipanggil melalui Surat Undangan Klarifikasi Nomor.B/1377/VII/RES.1.11./2023/Ditreskrimum tertanggal 13 Juli 2023 dengan Rujukan Laporan Polisi Nomor : LP/B/52/IV/2023/SPKT/POLDA KALIMANTAN TENGAH dengan Pasal 378 KUHPidana.

 

Bahwa dari dua (2) Surat Panggilan tertanggal 26 Mei 2023 dan 13 Juli 2023 tersebut ada perbedaan sangkaan penerapan pasal dengan Laporan Polisi yang sama sehingga Surat Panggilan tersebut dapat dinyatakan cacad hukum dan melanggar ketentuan Pasal 27 Perkap No. 14 tahun 2012 yang menyataan:

 

Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas dasar Laporan Polisi, laporan hasil penyelidikan, dan pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam berita acara.
Surat panggilan ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
Surat panggilan disampaikan dengan memperhitungkan tenggang waktu yang cukup paling lambat 3 (tiga) hari sudah diterima sebelum waktu untuk datang memenuhi panggilan.
Surat panggilan sedapat mungkin diserahkan kepada yang bersangkutan disertai dengan tanda terima, kecuali dalam hal:

Yang bersangkutan tidak ada di tempat, surat panggilan diserahkan melalui keluarganya, kuasa hukum, ketua RT/RW /lingkungan, atau kepala desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut segera akan disampaikan kepada yang bersangkutan; dan ;
Seseorang yang dipanggil berada di luar wilayah hukum kesatuan Polri yang memanggil, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui kesatuan Polri tempat tinggal yang bersangkutan atau dikirimkan melalui pos/jasa pengiriman surat dengan disertai bukti penerimaan pengiriman.

Dalam hal yang dipanggil tidak datang kepada penyidik tanpa alasan yang sah, penyidik membuat surat panggilan kedua.
Apabila panggilan kedua tidak datang sesuai waktu yang telah ditetapkan, penyidik menerbitkan surat perintah membawa.

 

Bahwa dengan ketentuan tersebut di atas maka Surat Panggilan terhadap saksi sangatlah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh oleh TERMOHON.

 

Bahwa pada Jumat 6 Oktober 2023, pemohon kembali mendapat surat dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Tengah dengan perihal:

Tembusan atas (Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka) kepada Kepala Kejaksaan        Tinggi         Kalimantan         Tengah         Nomor:         B/3410/X/RES.1.11./2023Ditreskrimum,
Surat Panggilan tersangka ke-1 dengan Nomor: Sp.Gil/523 /X/RES.1.11./2023/Direskrimum,
Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka dengan Nomor: S.TAP/ 89 / X/RES.1.11/2023/Ditreskrimum;

 

Bahwa didalam surat a). Tembusan atas (Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, b) Surat Panggilan tersangka ke-1, c) Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Tengah mencantumkan ada Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik/60/VIII/RES.1.11/2023/Ditreskrimum, tanggal 14 agustus 2023;

 

Bahwa didalam surat a). Tembusan atas (Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, b) Surat Panggilan tersangka ke-1, c) Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Tengah mencantumkan ada Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik/60/VIII/RES.1.11/2023/Ditreskrimum, tanggal 14 agustus 2023;

 

Bahwa didalam surat a). Tembusan atas (Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, b) Surat Panggilan tersangka ke-1, c) Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Tengah mencantumkan ada Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik/60/VIII/RES.1.11/2023/Ditreskrimum, tanggal 14 agustus 2023;

 

Bahwa penyidik tidak pernah memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada pemohon, keluarga pemohon maupun Penasehat Hukum pemohon selaku terlapor;

 

Bahwa semestinya dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan, dalam hal ini pemohon wajib untuk diberitahukan dan diserahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas dirinya;

 

Bahwa        Surat    Perintah           Penyidikan      Nomor:           

 

Bahwa jika merujuk Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik/60/VIII/RES.1.11/2023/Ditreskrimum, tanggal 14 agustus 2023, sebagaimana yang pelapor ketahui baru saat menerima surat a). Tembusan atas (Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, b) Surat Panggilan tersangka ke-1, c) Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka, pada tanggal 6 oktober 2023, semestinya pemohon telah menerima surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas dirinya tersebut selambat-lambatnya pada tanggal 21 Agustus 2023.

 

Bahwa atas ketiadaan dan atau kealpaan dan atau kelalaian penyidik sehingga terjadinya ketiadaan diberitahukan dan diserahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas pemohon merasa berkeberatan.

 

Bahwa semestinya dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan, dalam hal ini pemohon wajib untuk diberitahukan dan diserahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas dirinya;

 

 

Bahwa        Surat    Perintah           Penyidikan      Nomor:            Sp. Sidik/60/VIII/RES.1.11/2023/Ditreskrimum, tanggal 14 agustus 2023, sebagaimana yang pelapor ketahui baru saat menerima surat a). Tembusan atas (Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, b) Surat Panggilan tersangka ke-1, c) Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka, pada tanggal 6 oktober 2023.

 

Bahwa jika merujuk Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik/60/VIII/RES.1.11/2023/Ditreskrimum, tanggal 14 agustus 2023, sebagaimana yang pelapor ketahui baru saat menerima surat a). Tembusan atas (Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, b) Surat Panggilan tersangka ke-1, c) Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka, pada tanggal 6 oktober 2023, semestinya pemohon telah menerima surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas dirinya tersebut selambat-lambatnya pada tanggal 21 Agustus 2023.

 

Bahwa atas ketiadaan dan atau kealpaan dan atau kelalaian penyidik sehingga terjadinya ketiadaan diberitahukan dan diserahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas pemohon merasa berkeberatan.

 

Bahwa pada tanggal 6 September 2023 TERMOHON memberikan Surat Panggilan Nomor : Sp.Gil/464/IX/RES.1.11./2023/Ditreskrimum dengan Panggilan tanggal 15 September 2023 pada Pukul 10.00 WIB PEMOHON dan dengan itikad baik telah hadir di Polda Kalimantan Tengah bersama Kuasa Hukum PEMOHON, namun saat tiba di Ditreskrimum Polda Kalimantan Tengah, Penyidik yang bersangkutan sedang tidak ada ditempat dan menunda secara sepihak Pemeriksaan hingga waktu yang belum di tentukan;

 

Bahwa setelah melakukan pendundaan pemeriksaan secara sepihak pada tanggal 15 September 2023, TERMOHON selaku Penyidik atas nama AIPTU TRI MUJIONO, S.H NRP.78040839 menghubungi PEMOHON pada tanggal 20 September 2023 Pukul 22.23 WIB mengatakan kepada PEMOHON melalui Pesan Whatsapp “Anggota sy sdh d sampit dn hr kamis malam ada di Hsl dn jumat pagi ke Pt.BHL” dan “Sdh ku jadwalkan dn sdh kita sepakat”. Sedangkan faktanya tidak pernah sama sekali TERMOHON mengkonfirmasi akan melakukan pemeriksaan di Tempat PEMOHON;

 

Bahwa pada tanggal tanggal 21 September 2023 TERMOHON melalui penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap PEMOHON di dekat lokasi tempat PEMOHON bekerja TANPA adanya Surat Panggilan ataupun surat Perintah Pemeriksaan yang hanya disampaikan melalui pesan Whatsapp hanya 1 hari sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap PEMOHON sebagaimana  yang dimaksud pada:

Pasal 112 ayat (1) dan (2) KUHAP :

Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

 

Pasal 227 ayat 1 (satu) dan 2 (dua) KUHAP yang menyatakan sebagai berikut:

 

Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir;

 

Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tanda-tangan, baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya;

 

Bahwa dengan ketentuan tersebut di atas maka Surat Panggilan terhadap saksi sangatlah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh TERMOHON.

 

Bahwa pada saat sebelum pemeriksaan dilakukan, PEMOHON juga telah menyampaikan kepada penyidik atau TERMOHON agar di dampingi oleh Kuasa Hukum sebagaimana surat kuasa dari PEMOHON kepada para Kuasa Hukum tertanggal 15 September 2023 namun diabaikan oleh TERMOHON dengan tidak mempertimbangan hak dan kepentingan Hukum dari PEMOHON sehingga kesewenang-wenangan TERMOHON dalam hal ini Penyidik Subdit III Jatanras Polda Kalimantan Tengah telah melanggar hak-hak hukum PEMOHON sebagaimana tertuang di dalam :

 

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 5 Ayat (1)  huruf l Setiap Saksi berhak mendapat nasihat hukum.

 

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 1 angka 2 yaitu:

“Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.

Undang-Undang Nomor 39 Pasal 18 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Menegaskan, setiap orang yang diperiksa berhak mendapat bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

 

Bahwa setelah melakukan pemeriksaan terhadap PEMOHON, TERMOHON mengatakan kepada PEMOHON akan melakukan Gelar Perkara sehingga pada tanggal 9 Oktober 2023 PEMOHON menerima sebuah Surat PENETAPAN TERSANGKA Nomor : S.TAP/89/X/RES.1.11./2023/Ditreskrimum tertanggal 6 Oktober 2023 dan Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor : B/3410/X/RES.1.11./2023/Ditreskrimum tertanggal 6 Oktober 2023 kepada Kepala Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah serta surat Panggilan Ke-1 (satu) sebagai tersangka dengan Nomor : Sp.Gil/523/X/RES.1.11./2023/Ditreskrimum dengan tanggal pemanggilan pada 12 Oktober 2023 Jam 10.00 WIB namun karena TERMOHON pada saat itu sedang ada pekerjaan di perusahaan tempat PEMOHON bekerja sehingga meminta kepada penyidik untuk menunda Pemeriksaan ke Tanggal 17 Oktober 2023.

 

Bahwa setelah menerima surat Panggilan Tersangka Ke-1 (satu) namun tidak dapat menghadiri Pemeriksaan karena alasan yang jelas dan telah disampaikan kepada TERMOHON tetapi kemudian TERMOHON Mengirimkan Surat Panggilan Tersangka Ke-2 (dua)  tanggal 13 Oktober 2023 untuk menghadap penyidik pada tanggal 17 Oktober 2023 pada jam 10.00 WIB.

 

Bahwa pada tanggal 17 Oktober 2023 pada pukul 10.00 WIB PEMOHON dengan itikad baik hadir di Ditreskrimum Polda Kalimantan Tengah di dampingi oleh Beberapa Penasihat Hukum kemudian Pemeriksaan dilakukan dari pukul 10.30 WIB hingga Pukul 21.30 WIB kepada PEMOHON ;

 

Bahwa sebelum PEMOHON Selesai diperiksa dan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP)  oleh TERMOHON, pada Pukul 21.00 WIB PEMOHON diperiksa Kesehatannya oleh Petugas Kesehatan Tahanan tanpa memberi tahu alasan terhadap Pemeriksaan tersebut kepada PEMOHON dan Kuasa Hukum seolah-olah akan dilakukan Penahanan sebelum PEMOHON menyelesaikan BAP tersebut;

 

Bahwa sekitar Pukul 21.30 WIB setelah menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, TERMOHON menunjukan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan secara bersamaan tanpa menjelaskan unsur-unsur serta alat bukti yang sah terhadap penetapan tersangka dan juga terhadap penangkapan serta penahanan tersebut;

 

Bahwa melihat beberapa KEJANGGALAN-KEJANGGALAN yang diterima oleh PEMOHON  dari TERMOHON sehingga PEMOHON saat itu menolak untuk menandatangani surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan tersebut;

 

Bahwa setelah menyelesaikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dilakukan penangkapan dan penahanan pada tanggal 17 Oktober 2023 tersebut, Hingga saat Permohonan Pra Peradilan ini di ajukan, TERMOHON tidak pernah memberikan salinan BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) kepada PEMOHON maupun Kuasa Hukum PEMOHON sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 72 KUHAP, yang menyatakan sebagai berikut:

“Atas permintaan Tersangka atau Penasihat Hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan/salinan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.”

 

Bahwa setelah dilakukan PENANGKAPAN dan PENAHANAN terhadap PEMOHON oleh TERMOHON pada tanggal 17 Oktober 2023, Pihak Keluarga dari PEMOHON melalui Kuasa Hukum memberikan Surat Permohonan Penangguhan Penahanan tertanggal 20 Oktober 2023 kepada TERMOHON, namun hingga saat Permohonan ini diajukan TERMOHON tidak pernah memberikan penjelasan tertulis kepada Pihak Keluarga dan Kuasa Hukum alasan dan dalil penolakan surat permohonan penangguhan penahanan tersebut;

 

Bahwa dalam hal penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON dari tanggal 17 Oktober 2023 sampai dengan 5 November 2023 kemudian diperpangjang sampai dengan      15 Desember 2023, TERMOHON tidak pernah memberikan surat pemberitahuan baik secara tertulis maupun lisan kepada Pihak Keluarga PEMOHON dan Kuasa Hukum PEMOHON;

 

 

ANALISA YURIDIS

 

Bahwa tindakan Penetapan Tersangka, Penangkapan dan Serta Penahanan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON pada faktanya dilakukan dengan semena-mena tanpa mempertimbangkan segala hak hukum dari PEMOHON dan terkesan adanya upaya kriminalisasi atau upaya-upaya diluar hukum untuk memaksaan perkara tersebut agar TERMOHON ditetapkan sebagai tersangka kemudian dilakukan penangkapan dan penahanan. Yang mana pada beberapa surat panggilan kepada PEMOHON terdapat perbedaan penerapan pasal hukum sehingga pada dasarnya TERMOHON dalam hal ini secara jelas tidak mempunya legal standing serta alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan PEMOHON sebagai TERSANGKA karena itu tindakan TERMOHON tersebut telah melanggar beberapa Ketentuan yaitu :

 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 18 ayat (1) KUHAP :

 

Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

 

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 12 Tahun 2009)

 

Pasal 70 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009 :

     

Setiap tindakan penangkapan wajib dilengkapi Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan yang sah dan dikeluarkan oleh atasan penyidik yang berwenang.

 

Pasal 72 Perkap No. 12 Tahun 2009 :

 

Tindakan penangkapan terhadap tersangka Harus dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :

 

Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar;
Tersangka diperkirakan akan melarikan diri;
Tersangka diperkirakan akan mengulangi perbuatannya;
Tersangka diperkirakan akan menghilangkan barang bukti;
Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan.

 

Pasal 75 huruf a Perkap No. 12 Tahun 2009 :

 

Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib :

Memahami peraturan perundang-undangan, terutama mengenai kewenangan dan tata cara untuk melakukan penangkapan serta batasan-batasan kewenangan tersebut.

 

Pasal 75 huruf c Perkap No. 12 Tahun 2009 :

 

Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib :

Menerapkan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi untuk tindakan persiapan, pelaksanaan dan tindakan sesudah penangkapan.

 

Bahwa dalam proses Pemeriksaan, Penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON yang tidak mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan tidak didasari dengan ketentuan-ketenuan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas maka tindakan TERMOHON tersebut telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan :

 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

 

Konsiderans KUHAP huruf a :

 

Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

 

            Konsiderans KUHAP huruf c :

 

Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang Hukum Acara Pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

 

Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 :

 

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

 

 

Pasal 28 G :

 

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

 

 

Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 :

 

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

 

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :

 

Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

 

Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :

 

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

 

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :

 

Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.

 

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :

 

Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 12 Tahun 2009)

 

Pasal 75 huruf d Perkap No. 12 Tahun 2009 :

 

Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib bersikap profesional dalam menerapkan taktis penangkapan, sehingga bertindak manusiawi, menyangkut waktu yang tepat dalam melakukan penangkapan, cara-cara penangkapan terkait dengan kategori-kategori yang ditangkap seperti anak-anak, orang dewasa dan orang tua atau golongan laki-laki dan perempuan serta kaum rentan.

 

Pasal 76 ayat (1) huruf b Perkap No. 12 Tahun 2009 :

 

Dalam hal melaksanakan penangkapan, petugas wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

Senantiasa menghargai/menghormati hak-hak tersangka yang ditangkap.

 

 

Pasal 76 ayat (1) huruf c Perkap No. 12 Tahun 2009 :

 

Dalam hal melaksanakan penangkapan, petugas wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

Tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi tersangka.

 

Pasal 76 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009 :

 

Tersangka yang telah tertangkap, tetap diperlakukan sebagai orang belum tentu bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan.

 

Bahwa tindakan yang dilakukan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON dengan tidak memberikan surat pemberitahuan Perpanjangan Penahanan secara tertulis kepada Keluarga dan Kuasa Hukum PEMOHON karena itu tindakan TERMOHON tersebut telah melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal 59 KUHAP :

 

Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.

 

 

Bahwa karena TERMOHON tidak melaksanakan prosedur-prosedur sesuai dengan Ketentuan Perundang-Undangan, maka tindakan TERMOHON menunjukkan ketidakpatuhan akan hukum, padahal TERMOHON sebagai aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia in casu dalam kualitas sebagai PENYIDIK seharusnya memberikan contoh kepada warga masyarakat, dalam hal ini PEMOHON dalam hal pelaksanaan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) KUHAP sebagai berikut :

 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

 

                   Pasal 7 ayat (3) KUHAP :

 

Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

 

 

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

 

Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

 

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

 

 

Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dalam proses Penetapan Tersangka yang dilakukan petugas Kepolisian Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Tengah terhadap Pemohon terbukti bahwa proses penetapan tersangka tersebut cacat formil karena telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang “Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.

 

Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dalam proses Penetapan Tersangka yang dilakukan petugas Kepolisian Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Tengah terhadap Pemohon terbukti bahwa proses penetapan tersangka tersebut cacat formil karena telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan pasal 14 ayat (1) yang menyatakan “SPDP sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3 dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan” sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

 

Bahwa karena adanya kecacatan formil didalam didalam proses dan tahapan Penetapan Tersangka dari pemohon maka sudah barang tentu proses Penangkapan pemohon dengan dengan surat perintah penangkapan Nomor: Sp. Kap/ 86 / X/ Res. 1 11/2023/Ditreskrimum, adalah tidak sah, karena telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang “Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”, dan telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan pasal 14 ayat (1) yang menyatakan “SPDP sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3 dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan” sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

 

Bahwa karena adanya kecacatan formil didalam didalam proses dan tahapan Penetapan Tersangka dari pemohon maka sudah barang tentu proses Penahanan pemohon dengan dengan surat perintah Penahanan Nomor adalah tidak sah, karena telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang “Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor,dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”, dan telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan pasal 14 ayat  (1) yang menyatakan “SPDP sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3 dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan” sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

 

Bahwa dalam perkembangannya PRAPERADILAN telah menjadi fungsi kontrol Pengadilan terhadap jalannya Peradilan sejak tahap penyelidikan khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan penangkapan, sehingga oleh karenanya tindakan tersebut patut dikontrol oleh Pengadilan dengan menyatakan bahwa Penetapan Tersangka, Penangkapan serta Penahanan oleh TERMOHON kepada PEMOHON adalah TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN KUHAP serta Ketentuan-Ketentuan Hukum lainnya.

 

Dengan demikian, jika seandainya menolak GUGATAN PRAPERADILAN a-quo, penolakan itu sama saja dengan MELETIGIMASI PENANGKAPAN YANG TIDAK SAH YANG DILAKUKAN TERMOHON KEPADA PEMOHON DAN MELETIGIMASI ABUSE OF POWER atau PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN DAN PELANGGARAN HAK ASASI YANG DILAKUKAN TERMOHON KEPADA PEMOHON;

 

PERMNTAAN GANTI KERUGIAN DAN/ATAU REHABILITASI

 

Bahwa tindakan PENTETAPAN TERSANGKA, PENANGKAPAN dan PENAHANAN, YANG TIDAK SAH SECARA HUKUM oleh TERMOHON terhadap PEMOHON telah mengakibatkan kerugian bagi PEMOHON;

 

Bahwa mengingat PEMOHON adalah Karyawan Swasta, dimana sumber penghasilan untuk kehidupan sehari-hari bergantung pada penghasilan sebagai karyawan, maka SANGAT WAJAR dan BERALASAN untuk diberikan kompensasi dan/atau ganti rugi bagi PEMOHON;

 

Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengatur, sebagai berikut :

 

 

Pasal 9 ayat (1) :

 

Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf (b) dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).

 

 

 

Pasal 9 ayat (2) :

                               

Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah).

 

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 dan Perubahannya Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015.

 

Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 983/KMK.01/1983.

 

Merujuk pada pasal tersebut di atas dimana fakta membuktikan bahwa akibat penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP, maka nilai kerugian yang seharusnya dibayarkan kepada PEMOHON adalah sebesar Rp. 25.000.000,- (Dua Puluh Lima Juta Rupiah);

 

Bahwa disamping kerugian Materiil, PEMOHON juga menderita kerugian Immateriil, berupa :

Akibat Penetapan Tersangka, Penangkapan, Penahanan yang tidak sah oleh TERMOHON, menyebabkan tercemarnya nama baik PEMOHON, hilangnya kebebasan, menimbulkan dampak psikologis terhadap PEMOHON dan keluarga PEMOHON, dan telah menimbulkan kerugian immateril yang tidak dapat dinilai dengan uang, sehingga di batasi dengan jumlah sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah);

 

Bahwa kerugian Immateriil tersebut di atas selain dapat dinilai dalam bentuk uang, juga adalah wajar dan sebanding dalam penggantian kerugian Immateriil ini dikompensasikan dalam bentuk TERMOHON meminta Maaf secara terbuka pada PEMOHON lewat Media Massa selama 2 (dua) hari berturut-turut.

 

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mohon Ketua Pengadilan Negeri Palangka Raya agar segera mengadakan Sidang Praperadilan terhadap TERMOHON tersebut sesuai dengan hak-hak PEMOHON sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 serta Pasal 95 KUHAP, Serta Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 21/PUU-XII/2014 dan mohon kepada Yth. Ketua Pengadilan Negeri Palangka Raya Cq. Hakim Yang Memeriksa Permohonan ini berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut :

 

Menerima dan mengabulkan Permohonan PEMOHON untuk seluruhnya ;
Menyatakan tindakan Penetapan Tersangka, Penangkapan, dan Penahanan PEMOHON adalah Tidak Sah Secara Hukum karena melanggar ketentuan perundang-undangan ;
Memerintahkan kepada TERMOHON agar segera mengeluarkan/membebaskan PEMOHON atas nama Andri J.A Engkang;
Menghukum TERMOHON untuk membayar ganti Kerugian Materiil sebesar Rp. 25.000.000,- (Dua Puluh Lima Juta Rupiah) dan Kerugian Immateriil sebesar Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Lima Juta Rupiah), sehingga total kerugian seluruhnya sebesar Rp 75.000.000,- (Tujuh Puluh Lima Juta Rupiah) secara tunai dan sekaligus kepada PEMOHON ;
Menghukum TERMOHON untuk meminta Maaf secara terbuka kepada PEMOHON lewat Media Massa di Media Cetak Lokal Maupun Nasional selama 2 (dua) hari berturut-turut ;
Memulihkan hak-hak PEMOHON, baik dalam kedudukan, kemampuan harkat serta martabatnya.

Pihak Dipublikasikan Ya