Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PALANGKARAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2024/PN Plk PT. BERKALA MAJU BERSAMA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Cq. KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BALAI PENGAMANAN DAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN WILAYAH KALIMANTAN SEKSI WILAYAH I PALANGKA RAYA Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 26 Mar. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2024/PN Plk
Tanggal Surat Selasa, 26 Mar. 2024
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1PT. BERKALA MAJU BERSAMA
Termohon
NoNama
1KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Cq. KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BALAI PENGAMANAN DAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN WILAYAH KALIMANTAN SEKSI WILAYAH I PALANGKA RAYA
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

 

Perihal :

Permohonan Praperadilan atas Penetapan Tersangka yang dilakukan dengan sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku Terhadap Korporasi PT. Berkala Maju Bersama (PT.BMB)

 

  

 

Dengan hormat,

Perkenankan kami RADEN LIANI AFRIANTY, S.H., PERDANA HERLIANTO, S.H., ROBERT P. MARPAUNG, S.H., M.H., KM IBNU SHINA ZAENUDIN, S.H., M.H., ASEP ALAMSYAH, S.H., ERWIN MEIMAN HALAWA, S.H., M.H., ALFA AVESIANA ROMDHONI, S.H., ANTON JAKSA TRISAKTI, S.H., M.H. dan MICHAEL MEDIAN TAMPUBOLON, S,H., semuanya Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum LIANI AFRIANTY & PARTNERS, berkedudukan di Gedung The Island Lantai 2, Jalan Sukajadi Nomor 5, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus, Tanggal 29 Januari 2024 (terlampir), bertindak untuk dan atas nama:

PT. BERKALA MAJU BERSAMA (PT.BMB), berkedudukan di Jalan Nila Putih No. 8 RT/RW 003/008, Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah, diwakili oleh, TAN HOCK YEW Tempat Lahir Negeri Sembilan, Tanggal Lahir 20 Februari 1968, Laki-Laki, bertempat tinggal di Malaysia, No. 2 Jl. SG Rasau 32/30 Berjaya Park Sek 32 40460 Shah Alam Selangor, Warga Negara Malaysia, Nomor Passport A64840430, Direktur Utama berdasarkan Akta Pendirian No. 25, tanggal 16 April 2011, yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris R. A. Setiyo Hidayati, S.H., Surat Keputusan Kemenkumham AHU-56325.AH.01.01 Tahun 2011, tanggal 17 November 2011, dan Perubanan Terakhir Akta No. 04, tanggal 15 Agustus 2023, yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris Shella Falianti, S.H. Surat Keputusan Kemenkumham AHU-AH. 01.09-0152079 tanggal 15 Agustus 2023. Selanjutnya disebut sebagai----------------------------------------------------------------------PEMOHON.

 

Dengan ini Pemohon mengajukan Permohonan Pemeriksaan Praperadilan berkaitan dengan pelanggaran terhadap prosedural penetapan status sebagai Tersangka yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHP) Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XII/2015, terhadap :

 

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Cq. KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BALAI PENGAMANAN DAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN WILAYAH KALIMANTAN SEKSI WILAYAH I PALANGKA RAYA, berkedudukan di Jalan RTA. Milono KM 8,5, Kelurahan Sabaru, Palangka Raya, Tlp/Fax (0536)3245914, E-mail : bp2hlhk.kalimantan1@gmail.com. Selanjutnya disebut sebagai----- TERMOHON.

 

Bahwa adapun dasar dan alasan hukum Pemohon dalam mengajukan Permohonan Praperadilan ini adalah sebagai berikut :

 

 

 

 

DASAR FILOSOFIS DAN DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

Bahwa harus dipahami landasan filosofis Hukum Acara Pidana bukan semata-mata untuk memproses pelaku dugaan tindak pidana, melainkan untuk mengawasi tindakan sewenang-wenang negara dalam hal ini adalah aparat penegak hukum terhadap individu atau korporasi;

 

Bahwa landasan filosofis didasarkan pada fungsi instrumentasi asas legalitas dalam Hukum Acara Pidana yang mengandung makna bahwa dalam batas-batas yang ditentukan oleh Undang-Undang aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan terhadap individu yang diduga melakukan dugaan Tindak Pidana dengan tetap merujuk pada due process of law yang berlaku universal;

 

Bahwa berdasarkan bekerjanya Hukum Acara Pidana yang demikian, sifat dan karakteristik Hukum Acara Pidana selalu berasaskan sifat keresmian dengan merujuk pada tiga postulat mendasar yaitu Lex Scripta yang berarti Hukum Acara Pidana harus tertulis, Lex Certa yang berarti Hukum Acara Pidana haruslah jelas atau tidak ambigu, dan Lex Stricta yang berarti Hukum Acara Pidana harus ditafsirkan secara ketat;

 

Bahwa perlu dipahami dan diketahui, lahirnya lembaga praperadilan terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpurt Act dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi Manusia atau Subjek Hukum dalam hal ini Korporasi, Khususnya hak kemerdekaan, Habeas Corpurt Act memberikan hak kepada seseorang melalui suatu surat perintah Pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (illegal) atau tegasnya melaksanakan Hukum Pidana formil tersebut benar-benar sah  sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, hal ini untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan terhadap seseorang atau korporasi tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak manusia atau korporasi sebagai subjek hukum;

 

Bahwa keberadaan lembaga praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X bagian kesatu KUHAP, Bab XII bagian kesatu KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/ PUU-XII/2014, secara jelas tegas dapat dimaksud sebagai sarana kontrol atau pengawasan secara horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (in casu penyelidik/ penyidik maupun penuntut umum), sebagai upaya koreksi terhadap pengunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang di tentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia atau korporasi atau pun subjek hukum termasuk dalam hal ini Pemohon. Hal ini sebenarnya memberikan peringatan agar penegak hukum harus hati-hati dalam melaksanakan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku;

 

Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan Praperadilan, selain dari persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara Pidananya dihentikan pada tingkat penyelidikan atau penuntutan berdasarkan Pasal 77 KUHAP, juga dapat meliputi penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud tertuang dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyebutkan :

Pasal 77 huruf a Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, nomor 76, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;"

Jelas, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 merupakan dasar bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan;

 

Bahwa, berdasarkan Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pokoknya menentukan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan."

Sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP pada pokoknya menyebutkan :

Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”;

 

Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan Hukum Pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedural yang benar sebagaimana di atur dan ditentukan dalam KUHAP atau Perundang-Undang yang berlaku, artinya setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedural yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penetapan tersangka) tidak di penuhi, maka sudah barang tentu proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/ dibatalkan;

 

Bahwa penetapan status korporasi sebagai tersangka in casu Pemohon, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum atau tidak sah, jelas memberikan hak hukum bagi seseorang atau korporasi atau pun subjek hukum untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan atau pengujian terhadap keabsahan melalui lembaga prapradilan, sebagaimana ditentukan dan ditegaskan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan :

“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan Gugatan, baik dalam perkara Pidana, Perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses Peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan Hukum Acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”;

dan Pasal 3 ayat 2 dan ayat 3 yang pada pokoknya menentukan:

 

Bahwa, ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang pada pokoknya menyebutkan :

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Dengan demikian, secara jelas dan tegas Undang-Undang Dasar 1945 mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara;

 

Bahwa, selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, tanggal 9 Nopember 2016, Dalam Amar Putusannya menyatakan  : "Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3258) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "Suatu perkara sudah mulai diperiksa"  tidak dimaknai permintaan Praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama Terdakwa Pemohon Praperadilan";

 

Bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan Pasal 2 ayat (1) Bab II tentang Obyek Pemeriksaan Praperadilan, yang menentukan:

 

Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut di atas, maka secara konstitusional telah diakui bahwa penetapan tersangka juga termasuk sebagai salah satu kewenangan Lembaga Praperadilan, dan juga apabila pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama tidak menggugurkan permohonan Praperadilan;

 

Bahwa, Yurisprudensi Mahkamah Agung Putusan Perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/PN.Bky. tanggal 18 Mei 2011 Jo. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/Pid/2011, tanggal 17 Januari 2012, pada pertimbangan hukumnya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Terkait dengan sah tidaknya penetapan tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/ PN.Jkt-Sel. telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain :
Tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka";

 

Bahwa, selain itu konsekuensi dari tindakan dari aparat penegak hukum yang keliru dalam menetapkan Tersangka, ketentuan Pasal 95 KUHAP memberikan hak menuntut yang mekanismenya dilakukan mengikuti acara praperadilan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

FAKTA HUKUM

 

Bahwa pada tanggal 12 Juni 2023 Termohon telah menerbitkan Surat Tugas Nomor : ST.552/BPPHLHK.4/SW.I/Peg.3.0/6/2023 Untuk Melakukan Kegiatan Pengumpulan bahan dan keterangan  di PT. Berkala Maju Bersama (PT.BMB) Wilayah Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, yang memerintahkan :
Sadikin Eka Satria Kaban, S.H., M.Si., NIP : 19810525 200801 1 025, Pangkat/ Golongan : Penata Tk.I (III/d) dalam jabatannya sebagai Ketua Tim/ Kepala WilayahI Palangka Raya;
Armawan, S.P., NIP : 197307012000031001, Pangkat/ Golongan : Penata Tk.I (III/d) dalam jabatannya sebagai Polhut Muda;
Syamsul Ilyas, NIP : 19730622 199803 1 005, Pangkat/ Golongan : Penata Tk.I (III/d) dalam jabatannya sebagai Polhut Penyelia;
Muhammad Medika Al Fazry, S.T., NIP : 199310132018011003, Pangkat/ Golongan : Penata Muda Tk.I (III/b), dalam jabatannya sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Pertama;

 

Bahwa perlu Pemohon sampaikan, tindakan Termohon Untuk Melakukan Kegiatan Pengumpulan bahan dan keterangan  di PT. Berkala Maju Bersama (PT.BMB) atas dasar Surat Tugas Nomor : ST.552/BPPHLHK.4/SW.I/Peg.3.0/6/2023 tertanggal 12 Juni 2023 yang diterbitkan Termohon merupakan serangkaian tindakan Penyelidikan dan tindakan Penggeledahan yang merupakan bagian dari tindakan Penyidikan dan bertentangan dengan syarat sahnya suatu Penyelidikan dan Penggeledahan dalam Penyidikan dengan kata lain tindakan Termohon tersebut telah melanggar hukum;

 

Bahwa berdasarkan Surat Tugas Nomor: ST.552/BPPHLHK.4/SW.I/Peg.3.0/6/2023 tertanggal 12 Juni 2023 yang melawan hukum tersebut, Termohon menerbitkan Surat Laporan Kejadian Nomor : LK.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/6/2023 tertanggal 14 Juni 2023 yang bertuliskan “Pro Justitia” dibuat berdasarkan laporan dari Pelapor atas nama Muhammad Medika Al Fazry, S.T. / 199310132018011003 yang merupakan PNS pada BPPHLHK Wil. Kalimantan Seksi Wil. I Palangka Raya, adapun waktu kejadiannya adalah Hari Rabu, Tanggal 14 Juni 2023, Pukul 15:00 WIB yang telah menuduh PT. Berkala Maju Bersama melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 98 ayat (1) dan/atau Pasal 99 ayat (1) Jo. Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan saksi-saksi atas nama : IPANA, MS dan ANNE LINDRIANY PAYUNG, ST;

 

Bahwa berdasarkan Surat Tugas Nomor: ST.552/BPPHLHK.4/SW.I/Peg.3.0/6/2023 tertanggal 12 Juni 2023 dan Laporan Kejadian Nomor : LK.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/6/2023 tertanggal 14 Juni 2023 Termohon menetapkan Pemohon menjadi Tersangka Korporasi berdasarkan Surat Ketetapan Nomor : S.Tap.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/10/2023;

 

Bahwa perlu Pemohon sampaikan, Surat Ketetapan Nomor: S.Tap.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/10/2023 tentang Penetapan Pemohon sebagai Tersangka didasarkan pada Laporan Kejadian Nomor: LK.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/6/2023 tertanggal 14 Juni 2023 yang didasarkan pada Surat Tugas Nomor: ST.552/BPPHLHK.4/SW.I/Peg.3.0/6/2023 tertanggal 12 Juni 2023 yang dibuat secara melawan hukum dan tidak sesuai dengan prosedur Hukum Acara Pidana;

 

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (5) KUHAP yang menentukan sebagai berikut :

 

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 KUHAP yang menentukan sebagai berikut :

 

Bahwa tindakan Penggeledahan yang dilakukan oleh Termohon tidak sesuai dengan apa yang ditentukan Pasal 33 KUHAP, menyebutkan :

Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan;
Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari Penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah;
Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni rumah menyetujuinya;
Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;
Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan;

 

Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas nyata dan jelas tindakan Termohon melakukan kegiatan pengumpulan bahan dan keterangan di PT. Berkala Maju Bersama (Pemohon) merupakan tindakan Penyelidikan dan Penggeledahan yang bertentangan dengan hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 33 KUHAP;

 

Bahwa oleh karena Surat Tugas Nomor: ST.552/BPPHLHK.4/SW.I/Peg.3.0/6/2023 tertanggal 12 Juni 2023 bertentangan dengan hukum dan tidak sesuai dengan prosedur Hukum Acara Pidana sehingga seluruh tindakan Termohon dan Penetapan yang timbul dari Surat Tugas tersebut tidak sah dan haruslah dikoreksi atau dibatalkan;

 

Bahwa sebelumnya Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Perhubungan Gunung Mas telah melakukan verifikasi lapangan serta mengambil sampel air di wilayah PT. Berkala Maju Bersama (Pemohon) dan membuat Berita Acara Verifikasi Pengaduan  tertanggal 11 Mei 2023 dengan cara yang diatur oleh hukum;

 

Bahwa Termohon memanfaatkan Berita Acara Verifikasi Pengaduan tertanggal 11 Mei 2023 yang dibuat oleh Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Perhubungan Kuala Kurun sebagai dasar barang bukti dalam Laporan Kejadian Nomor : LK.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/6/2023 tertanggal 14 Juni 2023  Poin 7 yang menyebutkan:

Barang Bukti :

Laporan Verifikasi Pengaduan Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup, Kegiatan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT. Berkala Maju Bersama Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah.
Surat Keputusan dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Perhubungan Kabupaten Gunung Mas Nomor : 57 Tahun 2022 tanggal 09 November 2022 tentang Penerapan Sanksi Administrasi Paksaan Pemerintah Kepada PT. BMB (PMKS).
3 Lembar Sertifikat Hasil Uji Air Permukaan.
1 Lembar Sertifikat Hasil Uji Air Limbah Pabrik Minyak Kelapa Sawit PT. Berkala Maju Bersama

 

Bahwa pengambilan barang bukti poin 3 dan 4 sebagaimana dimaksud dalam bagian “Barang Bukti” pada Berita Acara Verifikasi Pengaduan tertanggal 11 Mei 2023 dan Laporan Kejadian Nomor : LK.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/6/2023 tertanggal 14 Juni 2023 di atas adalah tidak sah dan bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengawasan Penataan perizinan dan Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi;

 

Bahwa, atas dugaan Tindak Pidana yang didasarkan pada prosedur yang cacat hukum dan tidak sah tersebut Termohon telah melakukan panggilan terhadap pihak-pihak untuk didengar keterangannya sebagai saksi antara lain berdasarkan :
Surat Panggilan Saksi Nomor : SPgl. 03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/8/2023, tertanggal 17 Juli 2023, atas nama Farid Firmansyah.
Surat Panggilan Saksi Nomor : SPgl.04/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/8/2023, tertanggal 17 Juli 2023, atas nama Sumardie.
Surat Panggilan Saksi Nomor : SPgl.05/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/7/2023, tertanggal 17 Juli 2021, atas nama Sugiman.
Surat Panggilan Saksi Nomor : SPgl.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/7/2023,  tertanggal 17 Juli 2023, atas nama Solikin.
Surat Panggilan Saksi Nomor : SPgl.07/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/7/2023, tertanggal 17 juli 2023, atas nama Fajar B. Anggoro.
Surat Panggilan Saksi Nomor : SPgl.20/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/8/2023, tertanggak 17 Agustus 2023, atas nama Tan Hock Yew.
Surat Panggilan Saksi Nomor : SPgl.23/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/8/2023, tertanggal 29 Agustus 2023, atas nama Tai Siak Heng.
Surat Panggilan Saksi Nomor : SPgl.24/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/8/2023, tertanggal 29 Agustus 2023, atas nama Thomson Siagian.
Surat Panggilan Saksi Nomor : SPgl.25/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/8/2023, tertanggal , tanggal 29 Agustus 2023, atas nama J. Raymond Silitonga.

 

Bahwa adapun tindakan Termohon memanggil saksi-saksi atas dasar Laporan Kejadian Nomor : LK.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/6/2023 tertanggal 14 Juni 2023 adalah panggilan yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum;

 

Alasan Yuridis Bahwa Perolehan Bukti Termohon Tidak Sah dan bertentangan dengan hukum.

Bahwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengawasan Penataan perizinan dan Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi, halaman 46 poin 5.2.6. tentang Pengambilan Sampel pada alinea ke-4 yang menentukan :Bahwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengawasan Penataan perizinan dan Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi, halaman 47 poin 5.2.7. tentang Pengambilan Gambar/ Foto/ Video/ Rekaman Suara alinea ke-1 yang menentukan :

foto/ video/ rekaman suara dilakukan dengan persetujuan pihak usaha dan/atau kegiatan. Apabila usaha dan/atau kegiatan menyetujui maka dibuat Berita Acara Pengambilan gambar/foto/video/rekaman suara dan apabila usaha dan/atau kegiatan tidak menyetujui maka dibuatkan Berita Acara Penolakan Pengambilan gambar/ foto/ video/ rekaman suara mengacu pada lampiran 9 SOP No.01.”;

Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, tidak sah dan bertentangan dengan hukum yaitu bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengawasan Penataan perizinan dan Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2015 perbuatan Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Balai Pengamanan Dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya dalam upaya memperoleh bukti sebagaimana dimaksud dalam poin 7 tentang barang bukti dalam Laporan Kejadian Nomor : LK.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/6/2023 tertanggal 14 Juni 2023 tersebut;

 

Alasan Yuridis Bahwa Penetapan Tersangka Terhadap Pemohon dilakukan dengan sewenang-wenang, tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku oleh Termohon.

 

Bahwa, Pemohon mendapatkan Surat Panggilan Tersangka Korporasi Nomor : S.Pgl 28/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/10/2023, tertanggal 20 Oktober 2023, dari Termohon untuk dimintai keterangan selaku Tersangka Korporasi dalam perkara dugaan Tindak Pidana Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu : "Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,. (sepuluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat 1" dan atau "Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) Juncto Pasal 116 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, Nomor 2 Tahun 22 dan Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja", berdasarkan Laporan Kejadian Nomor : LK.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/6/2023 tertanggal 14 Juni 2023.

 

Bahwa Termohon dalam penetapan Tersangka kepada Pemohon tidak melalui Proses Penyelidikan terlebih dahulu berdasarkan  Pasal 102 ayat (1) KUHAP menyebutkan :

“Penyelidikan yang mengetahui, menerima Laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut di duga merupakan tindak pidana wajib segera dilakukan tindakan penyelidikan yang di perlukan”

 

dan Pasal 5 ayat (1) huruf a menyebutkan :

“Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a. karena kewajibannya mempunyai kewenangan.

Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
Mencari keterangan dan barang bukti.
Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”

 

Bahwa Termohon dalam melakukan penyelidikan tidak melibatkan atau koordinasi dengan pihak kepolisian artinya dalam proses penyelidikan dilakukan secara sewenang-wenang dan bertentangan dengan Pasal 4 KUHAP menyebutkan :
Penyelidikan adalah setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia”;

 

Bahwa, perlu Pemohon sampaikan, pada saat Termohon melakukan pemanggilan saksi-saksi, Termohon ternyata telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, namun kedua dokumen tersebut (Sprindik dan SPDP) tidak pernah disampaikan kepada Pemohon maupun kuasa Pemohon. Hal tersebut bertentangan dengan Syarat Sah-nya suatu Penyidikan, Padahal jelas dan Tegas  ditentukan di dalam  Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 (halaman 147), Mahkamah berpendapat, tertundanya Penyampaian SPDP oleh Penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum akan tetapi juga merugikan Hak Konstitusional Terlapor dan Korban/ Pelapor. Oleh karena itu penting bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa pemberian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan kepada Jaksa Penuntut Umum akan tetapi juga Terhadap terlapor dan korban/pelapor. Alasan Mahkamah tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan Pembelaan dan juga dapat menunjuk Penasihat Hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/ pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas Laporannya, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah dalil Permohonan Pemohon bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tersebut bersifat wajib adalah beralasan menurut hukum. Sifat wajib bukan hanya dalam kaitannya dengan Jaksa Penuntut Umum akan tetapi juga dengan Terlapor dan Korban/Pelapor. Adapun tentang batas waktunya, Mahkamah mempertimbangkan bahwa waktu 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi Penyidik untuk mempersiapkan menyelesaikan. Putusan MK di atas ini berkesesuian dengan Pasal 13 ayat (3) Perkap Polri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang berbunyi :

“Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, dibuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)”

 

Kemudian dalam ketentuan Pasal 14 Ayat (1) yang berbunyi :

 “Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (3) dikirimkan kepada Penuntut Umum, Pelapor/ Korban dan Terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan.”

 

Seharusnya ketentuan-ketentuan di atas menjadi acuan dari Penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya, untuk melaksanakan tugasnya.

 

Bahwa, berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, Nomor 2 Tahun 22 dan Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja) Termohon dalam memproses suatu dugaan Tindak Pidana Lingkungan Hidup haruslah berkoordinasi dengan penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sehingga dalam melaksanakan tugas a quo berpedoman berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Kepolisian, oleh karenanya semakin jelas bahwa menurut hukum penetapan yang dimaksud sesungguhnya adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat;

 

Bahwa Putusan MK Nomor 21/ PUU/XII/2014, halaman 96 paragraf (3.13) alinea kedua menyebutkan :

 “Bahwa Pasal ayat (2) KUHAP termasuk dalam Bab I Pasal 1 tentang ketentuan umum yang mengatur tentang pengertian penyidikan yang mengatakan, “penyidik adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka,” adapun frasa dan guna menemukan tersangka harus ditafsirkan bersyarat yang didalilkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah, sebenarnya sudah di penuhi oleh pasal tersebut, yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyelidikan melakukan suatu proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik menemukan tersangka dalam suatu tindak pidana sehinga tidak serta merta penyidik menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti sebagaimana di tentukan dalam Pasal aquo. Pasal 1 angka 2 KUHP mengatur bagaimana penyidik menemukan tersangka sehingga pasal tersebut sudah jelas dan tidak perlu di tafsirkan.

Menurut Mahkamah, norma tersebut sudah tepat karena memberikan kepastian hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan di tetapkan menjadi tersangka oleh penyidik, yaitu harus melalui proses atau rangkaian tindakan penyelidikan dengan cara mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut penyidik menemukan tersangka bukan secara subjektif penyidikan menemukan tersangka tanpa mengumpulkan bukti,”

 

Selanjutnya dalam pertimbangan paragraf (3.14) pada angka 6 disebutkan :

“KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/ terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia, namun demikian, masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan penjelasan agar terpenuhinya asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam hukum pidana agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik, khususnya prasa “bukti permulaan,” bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana di tentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)KUHAP, ketentuan dalam KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai batas jumlah dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup,” dan “bukti yang cukup” Satu-satunya Pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti---dst”, oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana di tentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, serta memenuhi asas lex certa dan asas Lex Stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup” sebagaimana di tentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus di tafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangka, kecuali terhadap tindak pidana yang menetapkan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia) artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya di mungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka.

Menimbang, bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan Calon Tersangka, disamping minimum dua alat bukti tersebut diatas adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan Hak Asasi Manusia agar sebelum orang ditetapkan sabagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik.”

 

Bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas maka penetapan seseorang atau korporasi menjadi Tersangka harus melalui proses dan mekanisme yang benar serta mengharuskan adanya pemeriksaan Calon Tersangka sebelum seseorang atau korporasi ditetapkan sebagai Tersangka, agar Calon Tersangka dapat memberikan keterangan yang berimbang atas apa yang disangkakan kepadanya dalam proses penyidikan dan untuk menghindari kesewenang-wenang penyidik.

 

Bahwa pertimbangan Makhamah Konstitusi a quo telah pula dijadikan dasar dalam pengambilan Putusan Praperadilan di Pengadilan Negeri Sleman melalu Putusan Nomor 11/Pid.Pra/2022/PN.Smm, terdapat dalam halaman 40-41 dikutip sebagai berikut :

“Menimbang, bahwa syarat penetapan seseorang untuk dijadikan Tersangka harus berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan mengenai penetapan Calon Tersangka memang tidak diatur dalam KUHAP, namun dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dimana putusan tersebut menjelaskan penetapan tersangka harus berdasarkan :

minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan
harus pula disertai dengan pemeriksaan Calon Tersangka.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka penetapan Pemohon sebagai tersangka tidak sah menurut hukum karena tidak pernah dilakukan pemeriksaan dalam kapasitasnya sebagai calon tersangka, dengan demikian petitum poin ke-2 mengenai penetapan tersangka terhadap Pemohon berdasarkan Surat ketetapan tersangka nomor S. Tap/174.a/IX/2022/Ditreskrimum, 15 September 2022, oleh Termohon adalah tidak sah menurut hukum pantas di kabulkan.”

 

Bahwa, terkait Penetapan Tersangka, ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP, pada pokoknya menyatakan :

"Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana."

Begitu pula, ketentuan Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) PerKapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada pokoknya menyatakan :

 

Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.

Sehingga, untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka haruslah didapati bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti yang telah diperoleh secara sah menurut hukum, dan ditentukan melalui gelar pekara. Tindakan penetapan Tersangka harus dilakukan secara profesional, proporsional dan transparan agar tidak ada penyalahgunaan wewenang.

 

Bahwa Pemohon sebagaimana yang sudah diuraikan di dalam permohonan tentang penetapan Pemohon sebagai Tersangka tanpa berdasarkan dua alat bukti yang cukup dan sudah dilakukan Penetapan tersangka pada tanggal 18 Oktober 2023, dalam ketentuan dalam Pasal 17 KUHAP  yang berbunyi :

KUHAP dengan tegas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP, Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP Pasal 17 maka Pasal ini tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1 butir 14 yang berbunyi :

.”

Merujuk pada Pasal 17 beserta penjelasannya, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan apa saja bukti permulaan yang cukup itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 21/PUU-XII/2014 menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 butir 14 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang “dimaknai minimal dua alat bukti” sesuai Pasal 184 KUHAP.  Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:

Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan Terdakwa

Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup. Penentuan status seseorang atau korporasi menjadi tersangka oleh penyidik yang tidak didasarkan bukti merupakan tindakan sewenang-wenang merupakan bentuk pelanggaran hak konstitusional warga negara di dalam negara berdasar hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, selain itu juga bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi :

 

Bahwa, segala laporan ataupun pengaduan seyogianya terlebih dahulu dilakukan penyelidikan, sebagai dasar untuk dilanjutkan tindakan penyidikan. Namun proses tersebut, tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh Termohon dalam penanganan perkara a quo, hal ini terungkap bahwa Pemohon tidak pernah dimintai klarifikasi terlebih dahulu oleh Termohon, akan tetapi langsung melakukan penyidikan dengan memanggil Pemohon sebagai saksi dan kemudian menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. Sehingga dengan demikian tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon tersebut adalah cacat hukum.

 

Bahwa Pemohon tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Pernanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia : Pasal 58, pada pokoknya menyatakan :

"Surat Penggilan kepada Saksi dalam Tahap Penyidikan merupakan bagian dari upaya paksa dan hanya dapat di buat setelah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) di kirim ke Jaksa Penuntut Umum."

Dan ketentuan dalam Pasal 65 huruf c, pada pokoknya menyatakan :

"Dalam hal melakukan pemanggilan, setiap petugas dilarang : (c). Membuat surat panggilan yang salah isi dan/atau formatnya, sehingga menimbulkan kerancuan bagi yang di panggil "

Serta sebagaimana Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : 4 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan tindak Pidana yaitu tertuang dalam  Pasal 3 huruf a dan huruf d pada pokoknya menyatakan :

Prinsip-prinsip dalam peraturan ini :

Legalitas, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan ;
…dst…dst…
…dst…dst…
Prosedural, yaitu Proses penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan sesuai mekanisme dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundan-undangan ;"

Pasal 4, pada pokoknya menyatakan :

Dasar dilakukan Penyidikan :

laporan polisi/pengaduan
surat perintah tugas
laporan hasil penyelidikan
surat perintah penyidikan
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan

 

Pasal 15, pada pokoknya menyatakan :

Kegiatan Penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi :

Penyelidikan
Pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
Upaya paksa
Pemeriksaan….dst

 

Pasal 25 ayat (1), pada pokoknya menyatakan :

urat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b, dibuat dan di kirim setelah terbit surat Perintah penyidikan ;"

 

Bahwa sebagaimana di tegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 130/PUU-XII/2015, pada pokoknya  menyatakan :

"…dst…dst…Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) wajib diserahkan penyidik kepada para pihak paling lambat 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan"

 

Bahwa, terbitnya Surat Ketetapan Nomor : S.Tap/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/10/2023, tertanggal 18 Oktober 2023, Tentang Penetapan Tersangka Korporasi atas nama Pemohon mengandung cacat hukum. Karena selama proses pemeriksaan Pemohon tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), padahal berdasarkan Putusan MK No. 130/PUU/XIII / 2015 pada pokoknya menyatakan :

 "selain Kepada Penuntut Umum, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) juga WAJIB diserahkan kepada terlapor dan Pelapor, selambat-lambatnya 7 (Tujuh) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan"

 sehingga menujukkan Termohon dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai penegak hukum tidak profesional, teliti dan proporsional yang bertentangan dengan hak-hak konstitusional Pemohon dan merugikan Pemohon secara langsung dan nyata;

 

Bahwa pada saat Pemeriksaan Pemohon sebagai tersangka mendapatkan diskriminalisasi dan intimidasi sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) KUHAPidana menyebutkan :

“keterangan Tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.”

Sebagaimana diketahui Pemohon sedang menjalankan sanksi administrasi dan menjadi hal yang penting dan utama dalam penegakan hukum atas pelanggaran undang-undang yang bersifat administratif sedangkan Termohon tidak mempertimbankan hal tersebut dan tanpa melakukan pengujian terhadap dugaan tindak pidana yang dituduhkan kepada Pemohon, dan Termohon langsung penetapan tersangka kepada Pemohon yang merupakan tindakan terakhir apabila ketentuan administrasi telah di penuhi dan tidak diindahkan oleh pemohon. Hal tersebut sesuai dengan asas hukum ultimum remedium sebagaimana asas pokok dalam peraturan pidana administratif yang meletakkan penegakan hukum pidana sebagai sarana terakhir.

 

Bahwa, pada saat Pemohon ditetapkan selaku Tersangka, Pemohon sedang dalam proses menjalankan Pemenuhan sanksi adminsitratif terhadap Keputusan Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan Dan Perhubungan Kabupaten Gunung Mas Nomor 57 Tahun 2022 sebagaimana telah dirubah dengan Keputusan Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Perhubungan Kabupaten Gunung Mas Nomor 33 Tahun 2023;

 

Bahwa, mengenai sah atau tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka Korporasi dengan mekanisme dan prosedur yang tidak benar, dan melawan hukum, maka Pengadilan Negeri Palangka Raya yang memeriksa dan mengadili permohonan a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan Tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

Bahwa, tindakan Termohon yang menerbitkan Surat Ketetapan Tersangka Korporasi adalah tindakan yang cacat hukum, sehingga mengakibatkan kerugian materiil dan imateriil yang tidak dapat dihitung secara pasti, maka sangat wajar dan beralasan untuk diberikan kompensasi dan/atau ganti rugi bagi Pemohon. Maka Pemohon mengajukan ganti kerugian sebagaimana diatur dan ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

 

Majelis Hakim yang kami hormati,

Serta Sidang yang kami muliakan.

 

Berdasarkan seluruh uraian di atas mohon kiranya kepada Ketua Pengadilan Negeri Palangka Raya melalui Majelis Hakim Tunggal yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Aquo di Pengadilan Negeri Palangka Raya kelas 1A memberikan putusan yang pada pokoknya sebagai berikut :

 

Mengabulkan permohonan pra peradilan Pemohon untuk seluruhnya.

 

Menyatakan Perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka merupakan perbuatan yang sewenang-wenang karena tidak sesuai dengan prosedural dan bertentangan dengan hukum dan dinyatakan batal demi hukum.

 

Menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum penetapan Tersangka Korporasi terhadap Pemohon berdasarkan Surat Ketetapan Nomor : S.Tap/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/10/2023, tertanggal 18 Oktober 2023, Tentang Penetapan Tersangka Korporasi atas nama Pemohon beserta turunannya tidak sah dan batal demi hukum yang ditetapkan oleh Termohon.

 

Menyatakan tindakan Termohon Untuk Melakukan Kegiatan Pengumpulan bahan dan keterangan  di PT. Berkala Maju Bersama (PT.BMB) Wilayah Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan  Surat Tugas Nomor : ST.552/BPPHLHK.4/SW.I/Peg.3.0/6/2023 tertanggal 12 Juni 2023 tidak sah dan bertentangan dengan hukum;

 

Menyatakan tidak sah dan bertentangan dengan hukum perolehan bukti-bukti yang dilakukan oleh Termohon Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya berdasarkan Laporan Kejadian No. : LK.06/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/6/2023;

 

Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;

 

Memulihkan hak Para Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

 

Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi immaterial senilai Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), dan menghukum Termohon memberikan gati kerugian kepada Pemohon sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

 

Membebankan biaya yang timbul atas permohonan ini kepada Termohon.

 

Atau

 

SUBSIDAIR

Apabila Majelis Hakim Tunggal berpendapat lain, Mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo et bono).

Demikian Permohonan Praperadilan ini kami sampaikan dan ajukan, agar kiranya Ketua Pengadilan Negeri Palangkaraya Kelas 1A Cq. Majelis Hakim Tunggal Yang Memeriksa, Mengadili dan Memutuskan Permohonan a quo serta dapat melindungi hak-hak Yuridis Pemohon, atas perhatian kami ucapkan terima kasih.

Pihak Dipublikasikan Ya