Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PALANGKARAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2022/PN Plk Zet Londong Tasik Pasoloran Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 30 Mei 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2022/PN Plk
Tanggal Surat Senin, 30 Mei 2022
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Zet Londong Tasik Pasoloran
Termohon
NoNama
1Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Cq Balai Pengamananan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

I.             DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

1.            Bahwa permohonan Praperadilan diajukan Pemohon berdasarkan pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

-              Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai berikut:

“Pengadilan berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a.            Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b.            Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

-              Pasal 79 KUHAP, sebagai berikut:

“Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh Tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.”

-              Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014;

-              Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan

Pasal 2:

(1) Obyek Praperadilan adalah:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

(2) Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.

2.            Berdasarkan lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam BAB X bagian Kesatu KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2016, secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana control atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang aparat penegak hukum, sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain diluar yang ditentukan secara eksplisit oleh KUAP. Koreksi ini dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini hak asasi PEMOHON;

3.            Bahwa menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”;

4.            Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan:

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a.            Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b.            Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c.             Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

5.            Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai suatu lembaga untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh Penyidik dan Penuntut Umum, apakah perbuatan hukum/tindakan tersebut telah sesuai dengan undang-undang dan apakah sudah dilengkapi dengan administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah atau tidak sahnya tindakan Penyidik dan atau Penuntut Umum dalam melakukan Penyidikan dan atau penuntutan;

6.            Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP, secara khusus Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, telah memberikan penegasan dan interpretasi bahwa “penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan adalah termasuk objek praperadilan”;

7.            Bahwa Pemohon dilaporkan melakukan tindak pidana kehutanan berdasarkan Laporan Kejadian No. LK.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/5/2022 tanggal 18 Mei 2022. Atas Laporan tersebut kemudian diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.SIDIK.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/5/2022 tanggal 19 Mei 2022. Selanjutnya Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan SURAT PENETAPAN TERSANGKA Nomor: S.Tap.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022 tanggal 19 Mei 2022. Pemohon juga dilakukan penangkapan berdasarkan SURAT PERINTAH PENANGKAPAN Nomor: SP. Kap.03 /BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022, tanggal 19 Mei 2022; serta dilakukan penahahan berdasarkan SURAT PERINTAH PENAHANAN Nomor: SP. Han.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022 tanggal 19 Mei 2022;

8.            Bahwa Pemohon dipersangkakan melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a jo Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 36 angka 17 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b jo Pasal 89 ayat (1) huruf a dan b UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo Pasal 37 angka 5 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;

9.            Bahwa berdasarkan uraian di atas Pemohon memiliki Hak untuk mengajukan Praperadilan terhadap Termohon. 

II.            ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

A.            PENETAPAN TERSANGKA TIDAK SAH KARENA TERDAPAT PUTUSAN MK NO. 91/PUU-XVIII/2020 YANG MENANGGUHKAN TINDAKAN BERSUMBER PADA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

1.            Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon berdasarkan SURAT PENETAPAN TERSANGKA Nomor: S.Tap.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022 tanggal 19 Mei 2022;

2.            Bahwa Pemohon dikenakan tindak pidana kehutanan Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b jo Pasal 89 ayat (1) huruf a dan b UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo Pasal 37 angka 5 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;

3.            Bahwa terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah merubah unsur-unsur tindak pidana dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang mengakibatkan perbedaan unsur pidana antara Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b dengan Pasal 89 ayat (1) huruf a dan b UU No. 18 Tahun 2013, padahal mengatur tindak pidana yang sama:

Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b UU No. 18 Tahun 2013 yang telah diubah dengan Pasal 37 angka 5 UU No. 11 Tahun 2020       Pasal 89 ayat (1) huruf a dan b UU No. 18 Tahun 2013 (tidak mengalami perubahan)

(1) Setiap orang dilarang:

a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;

b. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:

a. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b; dan/atau

b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2013 sebagaimana diubah dengan Pasal 37 angka 1 UU No. 11 Tahun 2020:

23. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.

4.            Bahwa jika dibandingkan unsur-unsur tindak pidana yang dituduhkan kepada Pemohon, maka terdapat perbedaan mencolok pada Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b menggunakan unsur tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, dengan Pasal 89 ayat (1) huruf a dan b yang menggunakan unsur tanpa izin Menteri. Dengan adanya perbedaan unsur tersebut, maka unsur mana yang dipakai untuk membuktikan kesalahan Pemohon apakah unsur tanpa perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau unsur tanpa izin Menteri. Adanya ketidakjelasan penerapan unsur tersebut, mengakibatkan Pemohon tidak dapat diterapkan tindak pidana kehutanan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatur asas legalitas yakni suatu perbuatan dapat dipidana jika terdapat ketentuan yang mengatur secara jelas bahwa perbuatan tersebut dilarang. Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

5.            Bahwa penetapan tersangka kepada Pemohon dengan menggunakan ketentuan hukum yang rancu, nyata melanggar asas legalitas khususnya Lex certa dan Lex stricta. Lex certa artinya rumusan delik pidana itu harus jelas. Lex stricta artinya rumusan pidana itu harus dimaknai tegas tanpa ada analogi;

6.            Bahwa atas berbagai kesemrawutan dan ketidakkonsistenan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2021, khususnya amar ke-7 menyatakan sebagai berikut:

7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).

Pertimbangan Majelis Hakim MK dalam halaman 414 menyatakan:

[3.20.5] Bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut.

7.            Bahwa di dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang terkait dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Pasal 1 angka 16: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Pasal 1 angka 20: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Pasal 1 angka 21: “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020, maka Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon yang berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020 haruslah ditangguhkan;

8.            Bahwa mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 dan kerancuan unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b dengan Pasal 89 ayat (1) huruf a dan b UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo Pasal 37 angka 5 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka cukup beralasan hukum bahwa penetapan tersangka terhadap Pemohon adalah tidak sah;

9.            Bahwa karena penetapan tersangka tidak sah akibat adanya kerancuan unsur tindak pidana dan penangguhan Tindakan yang berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berdasarkan amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020, maka rangkaian Tindakan penyidikan termasuk penangkapan, penahanan dan penyitaan menjadi tidak sah.

B.            PENETAPAN TERSANGKA TIDAK SAH KARENA TIDAK DIDUKUNG MINIMAL 2 (DUA) ALAT BUKTI YANG SAH DAN TIDAK DILAKUKAN PEMERIKSAAN CALON TERSANGKA

1.            Bahwa di dalam pertimbangan Putusan MK Nomor: 21/PUUXII/2014 halaman 98 menyatakan:

“ ........menurut Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon Tersangka.”

2.            Bahwa berdasarkan Putusan MK tersebut di atas, maka sebelum dilakukan penetapan tersangka, terlebih dahulu harus ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP yakni minimal 2 (dua) alat bukti dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangka;

3.            Bahwa Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti;

4.            Bahwa “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”

5.            Bahwa Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup;

6.            Bahwa PEMOHON merasa ada kejanggalan terhadap SURAT PERINTAH PENYIDIKAN, SURAT PENETAPAN TERSANGKA, SURAT PENANGKAPAN, DAN SURAT PERINTAH PENAHANAN yang semuanya dilakukan dalam satu waktu yaitu pada tanggal yang sama yaitu pada tanggal 19 Mei 2022.  Padahal Laporan Kejadian diterbitkan pada tanggal 18 Mei 2022. Bahwa adanya SURAT PERINTAH PENYIDIKAN, akan tetapi pada waktu yang sama dilakukan PENETAPAN TERSANGKA, PENANGKAPAN dan PENAHANAN kepada diri PEMOHON, adalah merupakan tempo yang sangat singkat, sehingga timbul pertanyaan apakah keterangan saksi dan keterangan ahli yang dikumpulkan oleh Termohon, sebelum menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, sudah memenuhi kriteria sebagai alat bukti yang sah dan sesuai dengan prosedur dalam KUHAP?

7.            Bahwa untuk dinyatakan sebagai Keterangan Saksi, maka prosedur yang harus dilakukan adalah pemanggilan Saksi dengan Surat Panggilan yang Sah yang diberikan dengan jangka waktu yang wajar sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP dan Pasal 146 KUHAP. Menurut Pasal 112 ayat (1) KUHAP “Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut”. Penjelasan Pasal 112 ayat (1) KUHAP “Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan yang sah, artinya, surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.” Di dalam KUHAP, jangka waktu yang wajar untuk pemanggilan adalah 3 (tiga) hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 146 KUHAP ayat (1) “Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai”.   Pasal 146 ayat (2) KUHAP “Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.”;

8.            Bahwa dengan demikian seluruh Keterangan Saksi yang diambil pada tanggal 19 Mei 2022 yang dijadikan alat bukti untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, tidak memenuhi kriteria sebagai Alat Bukti yang sah karena tidak terdapat Surat Panggilan yang sah menurut KUHAP. Begitu juga, apabila ada Keterangan Ahli, maka Keterangan Ahli tersebut juga tidak memenuhi kriteria sebagai alat bukti yang sah, karena Surat Panggilannya tidak sah. Begitu juga dengan bukti surat yang diajukan pada tanggal 19 Mei 2022, karena pada tanggal tersebut belum ada Penetapan Sita dari Ketua Pengadilan atas Bukti-Bukti Surat. Dengan demikian, dalam perkara ini tidak didukung minimal dua alat bukti sah, baik itu berupa Keterangan Saksi, Keterangan Ahli dan Surat, sehingga penetapan tersangka menjadi tidak sah;

9.            Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas sebagai calon tersangka karena tidak pernah ada pemanggilan yang sah kepada Pemohon sebagai Calon Tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP. Termohon pada tanggal 19 Mei 2022 melakukan pemeriksaan atas diri Pemohon   untuk pertama kali dan Termohon menerbitkan SURAT PENETAPAN TERSANGKA Nomor: S.Tap.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022 tanggal 19 Mei 2022, dan tidak pernah menyampaikan Surat Panggilan yang sah menurut KUHAP untuk diperiksa sebagai Calon Tersangka. Pemohon justru langsung ditetapkan sebagai Tersangka sehingga Pemohon tidak dapat melakukan klarifikasi secara seimbang sebelum ditetapkan sebagai Tersangka;

10.          Bahwa berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini;

11.          Bahwa dengan demikian, jelas tindakan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, tanpa didukung minimal 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak ada pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, sehingga beralasan menurut hukum Yang Mulia Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo untuk membatalkan penetapan tersangka terhadap diri Pemohon.

C.            PENETAPAN TERSANGKA TIDAK SAH KARENA TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

1.            Bahwa sebagaimana dikemukakan oleh Pemohon bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon berdasarkan SURAT PENETAPAN TERSANGKA Nomor: S.Tap.03/BPPHLHK-IV.SWI /PPNS /S/5/ 2022, tanggal 19 Mei 2022. Bahwa apabila mengacu kepada Surat Penetapan Tersangka tersebut, diketahui dengan jelas tidak pernah ada surat panggilan atas diri Pemohon untuk diperiksa sebagai calon Tersangka atau penyelidikan terlebih dahulu atas diri Pemohon, yang seharusnya dilakukan sebelum Termohon melakukan Penyidikan atas diri Pemohon sesuai Pasal 1 angka 5 KUHAP. Tidak ada Surat Perintah Penyelidikan dalam perkara tersebut;

2.            Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum;

3.            Bahwa lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

4.            Bahwa Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 102)  juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon;

5.            Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat di atas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya Surat Perintah Penyelidikan atas diri Pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka tanpa Surat Perintah Penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan;

D.            TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA KARENA KAWASAN TERSEBUT BELUM DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN HUTAN

1.            Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan tindak pidana di bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) Huruf a, dan Pasal 78 ayat (2) UU RI. No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaiaman dirubah dengan paragaraf 4 Pasal 36 angka 17 UU RI. No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan atau Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b, serta  Pasal 89 ayat (1) a dan b UU RI. No. 18 Tahun 2013 sebagaimana dirubah dengan paragaraf 4 Pasal 37 angka 5 UU RI. No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja  Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tidak berdasar pada bukti-bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian menurut hukum. Bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh  Pemohon selaku karyawan pada PT. SELO AGUNG SETIAJI berdasarkan dokumen-dokumen/perijinan sah yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, oleh karena itu dokumen-dokumen/perijinan  tersebut adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar  Pemohon melakukan kegiatan penambangan;

2.            Bahwa sebagaimana diketahui bahwa Pemohon selaku karyawan  melakukan kegiatan di areal tambang  PT. SELO AGUNG SETIAJI yang telah mempunyai dokumen-dokumen dan perijinan yang sah menurut hukum dengan demikian tindakan Pemohon melakukan kegiatan penambangan di areal tambang  PT. SELO AGUNG SETIAJI bukan merupakan suatu tindak pidana perusakan hutan sebagaimana dituduhkan oleh Termohon  sebagaimana dimaksud dalam SURAT PENETAPAN TERSANGKA Nomor : S.Tap.03/BPPHLHK-IV.SWI /PPNS /S/5/ 2022, tanggal 19 Mei 2022;

3.            Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasca Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 mendefinisikan unsur “Kawasan hutan” adalah “wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.

Pasal 14 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:

 “Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.”

Pasal 15 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:

“Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:

a. penunjukan kawasan hutan;

b. penataan batas kawasan hutan;

c. pemetaan kawasan hutan; dan

d. penetapan kawasan hutan.”

4.            Bahwa di areal tersebut belum ditetapkan sebagai kawasan hutan. Oleh karena di areal tersebut belum melalui seluruh proses pengukuhan kawasan hutan (mulai dari penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan), maka Pemohon tidak dapat dikenakan tindak pidana kehutanan. Unsur utama dalam tindak pidana kehutanan adalah kawasan hutan yang ditetapkan;

5.            Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP;

6.            Bahwa berdasar pada argumen-argumen sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan dugaan tindak pidana di bidang Kehutanan, karena areal tersebut belum dilakukan tata batas dan belum ada SK Penetapan Kawasan Hutan;

7.            Bahwa mengingat tindak pidana yang dituduhkan bersifat khusus, maka sebelum menetapkan Pemohon sebagai Tersangka haruslah terlebih dahulu diperiksa Keterangan Ahli untuk memperjelas apakah di areal tersebut sudah memenuhi unsur Kawasan hutan atau tidak. Di dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP menyatakan “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”

8.            Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti untuk menetapkan status seseorang menjadi tersangka khususnya terkait Kawasan hutan, maka penetapan tersangka harus dinyatakan tidak sah.

E.            PERBUATAN PEMOHON MURNI BERDASARKAN PERIZINAN YANG SAH

1.            Bahwa Pemohon selaku Karyawan pada PT.  Selo Agung Setiaji yang telah memperoleh Izin dari Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan  Terpadu Satu Pintu Propinsi Kalimantan Tengah berupa Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Mineral Bukan Logam Dan  Batuan Komoditas Andesit Nomor 570/24/DESDM/-IUPEPKS/II/DPMPTSP-2020,  tanggal 27 Februari  2020  dan Izin Usaha Pertambangan   Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit  Nomor: 570/71/DESDM/-IUPOP/VIII/DMPTSP-2020,  tanggal 3 Agustus 2020, oleh karenanya segala tindakan Pemohon dalam melaksanakan tugasnya selaku karyawan PT. Selo Agung Setiaji, adalah  sah tidak bertentangan dengan hukum.

2.            Bahwa PT. SELO AGUNG SETIAJI telah memiliki perizinan sebagai berikut:

a.            Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kalimantan Tengah No. 570/71/DESDM-IUPOP/VIII/DPMPTSP-2020 tanggal 3 Agustus 2020 tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit kepada PT. Selo Agung Setiaji;

b.            Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kalimantan Tengah No. 570/24/DESDM-IUPEKS/II/DPMPTSP-2020 tanggal 27 Februari 2020 tentang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Mineral Bukan Logam dan Batuan Komoditas Andesit atas Nama PT. Selo Agung Setiaji;

c.             Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kalimantan Tengah No. 503/056/Sek-LH/IL/DPM-PTSP/VI/2020 tanggal 8 Juni 2020 tentang Izin Lingkungan Rencana Usaha Kegiatan Pertambangan Batuan Andesit PT. Selo Agung Setiaji di Bukit Manuah RT 020 RW 004 Kelurahan Kasongan Lama Kecamatan Katingan Lihir Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah

d.            Surat Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Tengah No. 540/1210/IV.2/ESDM tanggal 1 Juli 2020 tentang Persetujuan Studi Kelayakan An. PT. Selo Agung Setiaji;

e.            Surat Izin Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. SI/1360/IV/YAN.2.11/2021 tanggal 29 April 2021 tentang Pemilikan, Penguasaan dan Penyimpanan Bahan Peledak;

f.             Surat Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Tengah No. 700/2446/II.2/DESDM tanggal 7 Desember 2020 Perihal Persetujuan RKAB IUP OP PT. Selo Agung Setiaji Tahun 2021;

g.            Surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara No. T-1764/MB.04/DJB.M/2022 tanggal 26 April 2022 Perihal Persetujuan RKAB PT. Selo Agung Setiaji Tahun 2022;

h.            Nomor Induk Berusaha (NIB) 9120110032859;

i.              Perjanjian Kerja Sama Universitas Palangka Raya Dengan PT. Selo Agung Setiaji Tentang Pelaksanaan Kerja Sama Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit di Kelurahan Kasongan Lama, Kecamatan Katingan Hulu, Kabupaten Katingan, tanggal 15 November 2021.

3.            Bahwa menurut ketentuan Pasal 110A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menyatakan:

Pasal 110A

(1)          Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak undang-undang ini berlaku.

(2)          Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini tidak menyelesaikan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , pelaku dikenakan sanksi administrative berupa:

a.            pembayaran denda administratif; dan/atau

b.            pencabutan Perizinan Berusaha.

4.            Bahwa diketahui dengan jelas Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Mineral Bukan Logam Dan  Batuan Komoditas Andesit Nomor 570/24/DESDM/-IUPEPKS/II/DPMPTSP-2020,  tanggal 27 Februari  2020  dan Izin Usaha Pertambangan (IUP)  Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit  Nomor: 570/71/DESDM/-IUPOP/VIII/DMPTSP-2020,  tanggal 3 Agustus 2020,  di terbitkan  oleh  Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan  Terpadu Satu Pintu Propinsi Kalimantan Tengah, sebelum berlaku/diundangkannya UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tanggal 2 November 2020.

5.            Bahwa apabila masih ada persyaratan yang belum dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan terkait dengan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit a.n. PT. Selo Agung Setiaji di Bukit Batu Manuah RT.020. RW.004, Desa Kasongan Lama, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah, PT. Selo Agung Setiaji mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan/ melengkapi persyaratan yang kurang tersebut sampai dengan tanggal 2 November 2023 atau 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (vide Pasal 110A ayat (1) UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja);

6.            Bahwa menurut ketentuan Pasal 110A ayat (2) bagi pelaku yang tidak menyelesaikan persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pembayaran denda administratif dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha. Dengan demikian tindakan PT. Selo Agung Setiaji yang melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, tidak bisa langsung diproses tindak pidana, akan tetapi terlebih dahulu diselesaikan melalui mekanisme hukum administrasi;

7.            Bahwa seandainyapun benar Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit a.n.  PT. Selo Agung Setiaji belum lengkap dan belum memenuhi persyaratan PT. Selo Agung Setiaji mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan/ melengkapi persyaratan yang kurang tersebut sampai dengan tanggal 2 November 2023  atau 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, berlaku sejak diundangkan tanggal 2 November 2020;

8.            Bahwa di samping itu, Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon juga melanggar ketentuan Pasal 370 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi menyatakan:

“Pemegang izin sah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 antara lain kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun dalam Kawasan Hutan dikenakan sanksi:

a. pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dalam hal melakukan penebangan di luar kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun dalam Kawasan Hutan;

b. denda sebesar 15 (lima belas) kali PSDH dan ditambah melunasi PSDH dan DR dalam hal melakukan penebangan di areal kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun dalam Kawasan Hutan tanpa memiliki persetujuan Pemanfaatan Kayu Kegiatan Non Kehutanan.”

9.            Bahwa di samping itu, terhadap areal pertambangan sudah dilakukan ganti rugi kepada masyarakat pemilik lahan. Perusahaan juga telah melakukan pembayaran kewajiban kepada negara dan CSR;

10.          Bahwa oleh karena lokasi Tambang PT. Selo Agung Setiaji masuk kedalam areal  Universitas Palangkaraya, maka PT. Selo Agung Setiaji melalui  Surat PT.Selo Agung Setiaji, tanggal 27 September 2021 mengajukan Permohonan Kerjasama dengan  Universitas Palangka Raya, yang kemudian ditindaklanjuti dengan  penandatangan Perjanjian Pelaksanaan Kerja Sama Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit di Desa Kasongan Lama, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, antara UNIVERSITAS PALANGKA RAYA DENGAN PT. SELO AGUNG SETIAJI  tertanggal 15 November 2021;

11.          Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka tindakan PT. Selo Agung Setiaji yang melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit di Desa Kasongan Lama, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan adalah murni tindakan berlandaskan hukum administrasi dan keperdataan yang harus mendapatkan perlindungan hukum dan harus diberikan waktu untuk melengkapi administrasi perizinan;

12.          Bahwa demikan juga halnya dalam perkara a quo tindakan Termohon melakukan Penangkapan, Penahanan dan  Penetapan Tersangka dugaan tindak pidana di bidang kehutanan  atas diri  ZET LONDONG TASIK PASOLORAN Bin YOHANIS RAPANG PASOLORAN pada hari  yang bersamaan yaitu tanggal 19 Mei 2022,  adalah tindakan yang sewenang-wenang yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon dalam melaksanakan pekerjaannya selaku karyawan  PT. SELO AGUNG SETIAJI yang telah memperoleh Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan Komoditas Andesit Nomor 570/71/DESDM/-IUPOP/VIII/DMPTSP-2020, tanggal 3 Agustus 2020 diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan  Terpadu Satu Pintu Propinsi Kalimantan Tengah; 

13.          Bahwa berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka  Hakim Pengadilan Negeri Palangka Raya yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan harus dibatalkan menurut hukum.

F.            PENANGKAPAN DAN PENAHANAN TIDAK SAH

1.            Bahwa Pemohon dilakukan penangkapan berdasarkan SURAT PERINTAH PENANGKAPAN Nomor: SP.Kap.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022, tanggal 19 Mei 2022;

2.            Bahwa penangkapan dilakukan maksimal 2 x 24 jam (vide Pasal 38 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2013), karena itu harus disebutkan jam dilakukan penangkapan. Di dalam Surat Perintah Penangkapan tidak ada jam dilakukan penangkapan. Di samping itu, secara faktual Pemohon telah dilakukan penangkapan dan pengekangan kebebasan sejak tanggal 18 Mei 2022, padahal Surat Perintah Penangkapan tertanggal 19 Mei 2022. Dengan demikian, penangkapan yang dilakukan kepada Pemohon tidak sah dan melanggar hukum;

3.            Bahwa di dalam Pasal 18 KUHAP menyatakan:

(1)          Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

(2)          Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.

(3)          Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

4.            Bahwa tembusan Surat Perintah Penangkapan juga tidak pernah diberikan kepada keluarga setelah dilakukan penangkapan, akan tetapi dititipkan kepada pihak yang bukan keluarga Pemohon. Dengan demikian Tindakan Termohon melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP;

5.            Bahwa Pemohon dilakukan penahanan berdasarkan SURAT PERINTAH PENAHANAN Nomor: SP.Han.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022 tanggal 19 Mei 2022;

6.            Bahwa di dalam Pasal 21 ayat (3) KUHAP menyatakan “Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya”. Bahwa tembusan Surat Perintah Penahanan tidak pernah diberikan kepada keluarga Pemohon setelah dilakukan penahanan, akan tetapi dititipkan kepada pihak yang bukan keluarga Pemohon. Dengan demikian Tindakan Termohon melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (3) KUHAP;

7.            Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Termohon melanggar prosedur dalam KUHAP, sehingga tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

G.           PENYITAAN TIDAK SAH

1.            Bahwa Termohon secara faktual telah melakukan penyitaan pada tanggal 18 Mei 2022, padahal Surat Perintah Penyidikan diterbitkan pada tanggal 19 Mei 2022;

2.            Bahwa Termohon telah melakukan penyitaan terhadap:

-              3 (tiga) unit excavator: dengan merek Hyundai Tipe HX210S SN 50367, merek CAT Tipe 320NG SN YBP00499, dan merek Komatsu Tipe PC 200-7 SN C78787;

-              2 (dua) unit Whell Loader Tipe WA.500-3 SN 50367, Tipe LW.300F SN XUGO3060FPDCB00578;

-              2 (dua) unit Truk Ban Sepuluh Tipe FM 260T1.

3.            Bahwa tindakan penyitaan suatu barang haruslah berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dimana penyitaan terhadap suatu objek barang telah diatur dengan jelas pada ketentuan Pasal 38 KUHAP dan Pasal 129 KUHAP yaitu:

Pasal 38

(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.

(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 129:

 (1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.

4.            Bahwa terkait dengan penyitaan tersebut, hingga saat ini Pemohon ataupun PT. Selo Agung Setiaji tidak pernah menerima salinan dokumen penyitaan yang dilakukan oleh Termohon;

5.            Bahwa di samping itu, Termohon melanggar ketentuan Pasal 129 ayat (2) KUHAP, karena Ketua RT yang dijadikan saksi yang ikut dalam penyitaan berasal dari Desa lain;

6.            Bahwa selain KUHAP, TERMOHON dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus tunduk dengan ketentuan Pasal 40 UU RI No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan:

Pasal 40

(1) Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti hasil tindak pidana perusakan hutan, baik berupa barang bukti temuan maupun barang bukti sitaan, wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan yang sekurang-kurangnya memuat:

a. nama, kelompok jenis, sifat, dan jumlah;

b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;

c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai kayu hasil pembalakan liar; dan/atau

d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.;

(2) Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di bawah penguasaannya;

(3) Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

a. melaporkan dan meminta izin sita;

b. meminta izin peruntukan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan; dan

c. menyampaikan tembusan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat.;

 

(4) Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

a. melaporkan dan meminta izin sita;

b. meminta izin lelang bagi barang yang mudah rusak kepada ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan; dan

c. menyampaikan tembusan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat;

(5) Batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor alam, geografis, atau transportasi, dapat diperpanjang menjadi paling lama 14 (empat belas) hari;

(6) Ketua Pengadilan Negeri wajib menerbitkan atau menolak izin/persetujuan sita yang diajukan oleh penyidik paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak permintaan diterima.;

7.            Bahwa Ternyata TERMOHON tidak melaksanakan ketentuan Pasal 40 UU RI Nomor: 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sehingga Penyitaan yang dilakukan TERMOHON Cacat Hukum, Non Prosedural sehingga patut dan layak untuk dinyatakan Tidak Sah dan tidak memiliki kekuatan hukum;

8.            Bahwa tindakan Termohon untuk melakukan penyitaan merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah dikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau peraturan yang berlaku artinya setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang dilindungi tetap dapat dipertahankan, apabila prosedur yang diikuti untuk mencapai proses tersebut tidak dipenuhi, maka sudah barang tentu proses terssebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan;

9.            Bahwa Tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tidak didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan, akibatnya penyitaan yang tidak sah ataupun tidak berdasarkan hukum merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik seseorang. Tindakan atau upaya paksa sering kali dilakukan penyidik, dan tidak menutup kemungkinan dilakukan sewenang-wenang, atau dengan perkataan lain tindakan tersebut tidak berdasarkan hukum;

10.          Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penyitaan yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

III.           PETITUM

Berdasar pada argumen dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Hakim Pengadilan Negeri Palangka Raya yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:

1.            Menerima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;

2.            Menyatakan SURAT PERINTAH PENYIDIKAN Nomor SP.SIDIK.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/5/2022 tanggal 19 Mei 2022 yang dikeluarkan TERMOHON adalah Tidak Sah dan memiliki kekuatan Hukum mengikat;

3.            Menyatakan SURAT PENETAPAN TERSANGKA Nomor Nomor: S.Tap.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022 tanggal 19 Mei 2022 atas nama Pemohon yang dikeluarkan TERMOHON adalah Tidak Sah dan memiliki kekuatan Hukum mengikat;

4.            Menyatakan SURAT PERINTAH PENANGKAPAN Nomor SP. Kap.03 /BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022, tanggal 19 Mei 2022 yang dikeluarkan TERMOHON adalah Tidak Sah dan memiliki kekuatan Hukum mengikat;

5.            Menyatakan SURAT PERINTAH PENAHANAN Nomor SP. Han.03/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/S/5/2022 tanggal 19 Mei 2022 yang dikeluarkan TERMOHON adalah Tidak Sah dan memiliki kekuatan Hukum mengikat;

6.            Menyatakan Tindakan PENYITAAN yang dilakukan TERMOHON atas perkara a quo Tidak Sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan Menyatakan hukum bahwa SURAT PERINTAH PENYITAAN dan / atau BERITA AGARA PENYITAAN yang dikeluarkan TERMOHON dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

7.            Memerintahkan TERMOHON membebaskan PEMOHON dari Tahanan segera setelah Putusan ini dibacakan;

8.            Memerintahkan kepada TERMOHON untuk mengembalikan:

-              3 (tiga) unit excavator: dengan merek Hyundai Tipe HX210S SN 50367, merek CAT Tipe 320NG SN YBP00499, dan merek Komatsu Tipe PC 200-7 SN C78787;

-              2 (dua) unit Whell Loader Tipe WA.500-3 SN 50367, Tipe LW.300F SN XUGO3060FPDCB00578;

-              2 (dua) unit Truk Ban Sepuluh Tipe FM 260T1.

yang disita oleh TERMOHON untuk segera dikembalikan Kepada PEMOHON atau PT. SELO AGUNG SETIAJI segera setelah Putusan ini dibacakan;

9.            Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon;

10.          Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Pemohon;

11.          Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

12.          Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Apabila Yang Terhormat Hakim Pengadilan Negeri Palangka Raya yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya