Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PALANGKARAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
8/Pid.Pra/2023/PN Plk DICKY RAHMAN HAKIM bin MADIONO 1.KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Cq KEPOLISIAN DAERAH KALIMANTAN TENGAH Cq DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM Cq SUBDIT IV RENAKTA
2.PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Cq MENTERI KEUANGAN RI Cq DIREKTORAT JENDRAL BERBENDAHARAAN Cq KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA PALANGKA RAYA KALIMANTAN TENGAH
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 18 Sep. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 8/Pid.Pra/2023/PN Plk
Tanggal Surat Senin, 18 Sep. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1DICKY RAHMAN HAKIM bin MADIONO
Termohon
NoNama
1KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Cq KEPOLISIAN DAERAH KALIMANTAN TENGAH Cq DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM Cq SUBDIT IV RENAKTA
2PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Cq MENTERI KEUANGAN RI Cq DIREKTORAT JENDRAL BERBENDAHARAAN Cq KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA PALANGKA RAYA KALIMANTAN TENGAH
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

A.            DASAR   HUKUM  PERMOHONAN   PRAPERADILAN  DAN   LEGAL STANDING PEMOHON

 

1.            Bahwa tindakan upaya paksa seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan merujuk pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi suatu mekanisme control terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan, penyidikan, dan penuntutan . Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka /terdakwa  dalam pemeriksaan pendahuluan (vide penjelasan pasal 80 KUHAP) . Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka ;

 

2.            Bahwa   menurut  putusan  Mahkamah  Konstitusi  Nomor   65/PUU-IX/2011, halaman 30 menyatakan, “...filosofi diadakannya pranata  Praperadilan yang justru  menjamin  hak-hak  Tersangka/terdakwa  sesuai  dengan harkat  dan martabatnya sebagai manusia”. Dengan demikian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini pada hakekatnya Praperadilan itu adalah untuk menjamin hak-hak warga negara, dari kesewenang-wenangan yang mungkin  dan   dapat   dilakukan   oleh   aparat   penegak  hukum   dalam konteks penegakan hukum. Berdasarkan  ketentuan  Pasal  1  angka  2  Kitab  Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan  menurut cara yang  diatur  dalam  undang-undang ini untuk  mencari  serta  mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Kemudian, menurut Pasal 7 ayat  (1) huruf d KUHAP, oleh karena kewajibannya penyidik berwenang untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,  dan  penyitaan.  Dalam  hal  ini  penyidik  berwenang untuk melakukan  suatu  upaya  paksa.  Oleh  karena  itu,  pengujian  keabsahan proses penyelidikan  dan  penyidikan  melalui  Praperadilan  patut  dilakukan karena  dalam   proses  tersebut  segala   upaya  paksa  dapat  dilakukan terhadap seseorang dengan alasan untuk kepentingan penegakan hokum. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ;

 

4.            Bahwa Praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP tersebut harus dimaknai sebagai Lembaga untuk menguji perbuatan hukum  yang   dilakukan  oleh  penyidik  atau  penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan melalui Praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan  atau  penuntutan  sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Merujuk amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik  Indonesia Nomor 21/PUUXII/ 2014 tanggal 28 April 2015,  antara lain berbunyi:

                Pasal  77  huruf  a  Undang-undang  Nomor   8  Tahun   1981   tentang Hukum  Acara  Pidana  (lembaran Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1981,  Nomor  76,  Tambahan Lembaran Negara  Republik Indonesia Nomor  3209)  bertentangan dengan Undang-undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun  1945  sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan ;

 

6.            Bahwa   sebagaimana ketentuan Pasal  1  ayat   (3)  UUD  1945   “Negara  Indonesia  adalah negara  hukum”  dan  menurut Pasal  28D  UUD 1945,  “Setiap  orang  berhak atas pengakuan,  jaminan,  perlindungan  dan  kepastian  hukum yang   adil serta  perlakuan  yang  sama di  hadapan hukum” bermakna  bahwa  hak   asasi  manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang  berkeadilan dan  bermartabat  Dalam praktik hukum,  Lembaga Praperadilan harus diartikan sebagai upaya pengawasan terhadap penggunaan wewenang oleh penyidik untuk menjamin agar  tidak terjadi  penyimpangan   terhadap   hukum acara (prosedur) yang mengarah pada abuse of power  sehingga akan  berdampak pada dilanggarnya  hak  asasi  manusia oleh  aparat  penegak hukum  atas nama penegakan hukum;

 

8.            Bahwa dengan adanya penetapan sebagai tersangka maka akan dilakukan upaya-upaya paksa yang lain seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan  penyitaan, sehingga   sesuai   putusan  Mahkamah  Konstitusi   Nomor:  21/PUUXII/2014   tanggal   28  April  2015,   maka   mutatis   mutandis  dapat menjadi obyek  Praperadilan. Menetapkan seseorang sebagai Tersangka, maka  penyidik  haruslah mempunyai ‘bukti permulaan yang cukup’ yakni bukti permulaan yang digunakan sebagai dasar untuk  menduga adanya tindak pidana sesuai Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak mengatur mengenai definisi ‘bukti permulaan yang  cukup’ yang dalam prosesnya kerap menimbulkan ketidakpastian hukum dan memperluas  “subyektifitas penyidik” untuk menentukan suatu tindak pidana, menetapkan seseorang sebagai  tersangka tindak pidana tersebut dan bahkan mengekang kebebasan hak asasi manusia seseorang;

 

10.          Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014  kemudian menyatakan bahwa ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang  cukup’ dalam Pasal 1 angka 14,  Pasal 17,  dan  Pasal 21  ayat  (1) KUHAP harus ditafsirkan  sekurang-kurangnya  dua alat bukti  sesuai  Pasal  184  KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan  tersangkanya dimungkinkan  dilakukan  tanpa kehadirannya  (in absentia). Ketika ruang subjektifitas begitu besar dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka, maka potensi pelanggaran hak asasi manusia “atas nama hukum” pun  semakin besar dan  peluang terjadinya  abuse of power  oleh penegak hukum juga menjadi semakin besar. Oleh  karena itulah  seyogyanya  peningkatan   status   perkara   darI “Penyelidikan” kepada “Penyidikan” harus dibarengi dengan  mekanisme untuk  melakukan check and  balance. Di dalam sistem acara pidana inquisitorial, seperti juga yang diadopsi oleh KUHAP, keseimbangan menjadi hal yang sangat mutlak. Karena keadilan hanya didapat apabila memenuhi kriteria-kriteria prosedural tertentu sebagaimana semangat yang diusung KUHAP dan juga Putusan  Mahkamah Konstitusi Nomor  21/PUU- XII/2014;

 

13.          Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10  menyatakan praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :

          a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

           b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

           c. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan kepengadilan;

 

14.   Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

         a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

          b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

15.    Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penahanan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hokum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik system hukum  Common Law, yang telah merupakan bagian dari system hukum di Indonesia. Peristiwa hokum inilah yang menurut (Alm) Satjipto Raharjo disebut “terobosan hukum” (legal breakthrough) atau hukum yang pro rakyat (hukum progresif) dan menurut Prof. Dr. Mochtar Kusuma Admaja, SH,MH merupakan hukum yang baik itu merupakan karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan Nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang.

 

16.  Bahwa dalam pasal 81 KUHAP telah diatur sedemikian rupa adanya permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan.  Proses permintaan gati kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat (4) dan ayat (5) KUHAP yang adalah kewenangan Pengadilan Negeri Palangka Raya.  

 

17.          Bahwa dengan merujuk  pada beberapa dasar  hukum serta penjelasan- penjelasan di  atas,  Pemohon dengan demikian  telah  memiliki  kedudukan hukum yang sah (legal  standing) untuk  mengajukan permohonan praperadilan a quo;

 

FAKTA – FAKTA DALIL PEMOHON

B.            ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

1.            Bahwa PEMOHON adalah seorang anggota Polri Aktif dengan NRP. 99050869  pada jabatan Den Gegana Brimob Polda Kalteng lulusan Akpol tahun 2021 dengan pangkat Inspektur Dua (Ipda). PEMOHON ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana berdasarkan pasal 44 ayat 1 dan ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan atau pasal 351 ayat 1 KUHPidana. Yang dilakukan oleh TERMOHON.

 

2.            Bahwa PEMOHON ditetapkan Tersangka, ditangkap dan ditahan di dasarkan berdasarkan Laporan Polisi No:  LP/B/63/SPKT/POLDA KALIMANTAN TENGAH, tanggal 29 April 2023 dan Penetapan tersangka nomor :  S.TAP/76/IX/RES.1.24/2023/Ditreskrimum, tanggal 1 September 2023. Pada sebelumnya dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sp.Sidik/ 52  / VII/RES.24/2023 Ditkrimum, tanggal 11 Juli 2023 dan nomor ; B/  52 /VII.RES.1.24/Ditreskrimum Perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)  tanggal 11 Juli 2023, SPDP  dan surat perintah penyidikan dengan nomor surat yang sama serta tanggal yang sama secara administrasi cacat formil dan   salah telah menyebutkan nama Pelapor dan terlapor yang seharusnya di kosongkan karena penetapan tersangka tanggal 1 September 2023 tidak sesuai pada Peraturan Kabareskim no: 1 tahun 2022 dan Peraturan Kapolri no 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana bagian kedua  dimulainya penyidikan yang terdapat pada pasal 13 ayat (1), (2) dan (3) serta pasal 14 ayat (1), (2), pada ayat (3) yang berbunyi : Identitas tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, tidak perlu dicantumkan dalam SPDP, bila penyidik belum dapat menetapkan tersangka, harus ada SPDP sebelumnya karena penetapkan tersangka baru pada tanggal 1 September 2023. Atas perbuatan Termohon yang tidak Profesional pada tahapan penyidikan mengakibatkan PEMOHON terzolimi dan di Kriminalisasi oleh penyidikan dan penerapan pasal yang tidak relevan di paksakan telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap diri Pemohon yang dilakukan Termohon pada rangkaian penyidikan PEMAKSAAN PEMPIDANAAN yang tidak obyektif, professional dan transparan sehingga cacat hukum baik formil maupun kebenaran materil. 

 

3.            Bahwa pada perbuatan termohon dalam melakukan tindakan penetapan tersangka pada diri Pemohon, penangkapan dan penahanan diri Pemohon sejak tanggal 11 September 2023 dengan nomor surat perintah penangkapan : Sp.Kap/ 64  /IX/RES.1.24 /2023/Ditreskrimum  dan surat perintah penahanan nomor: 68  /IX/RES.1.24/2023/Ditreskrimum, DEMI HUKUM HARUS DI BATALKAN.

 

4.            Bahwa terhadap perbuatan tersebut Pemohon memperjuangkan keadilan di Pengadilan Negeri Palangka Raya yang dimana Pemohon mendaftarkan Permohonan Praperadilan pada hari Senin  tanggal 18 September 2023.  

 

C.            ALASAN YURIDIS

 

1.            Bahwa penerapan pasal yang ada dalam BAP Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4) UU RI No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan atau pasal 351 ayat (1) KUHPidana adalah sangat keliru, memang pada penerapan pasal tersebut bertujuan agar Pemohon dapat dilakukan penahanan. Kecuali penerapan pasal 44 ayat 1 subsider ayat (4)  atau pasal 44 ayat 1 atau ayat 4. Jika di terapkan berarti bisa berdiri sendiri  tetapi itu tidak bisa. Saya sebagai kuasa hukum berpendapat penetapan tersangka melakukan penganiayaan dengan luka-luka sedang atau luka ringan yang tidak menghilangkan aktifitas sehari-hari, faktanya Fitria Dwi Ratnasari/pelapor setelah kejadian tanggal 30 April 2023  dapat bekerja dan beraktifitas sehari-hari . jika demikian berarti tidak ada melakukan penganiayaan/ kekerasan berat maupun ringan saat kejadian, kenapa di tanggal 29 April 2023 timbul ada  hasil visum, timbul ada luka-luka yang dilihat hanya ringan tetapi masih di ragukan kebenarannya/seolah penuh konspirasi/rekayasa perkara ada apa dibalik perkara ini?  faktanya diri Pemohon yang mengalami luka di leher akibat ulah cekikan dari pelapor tersebut tidak di proses dan akan melakukan visum dihalang-halangi oknum penyidik. Secara relevan/obyektif jika benar diterapkan pasal 351 ayat 1 dan 352 KUHPidana, memang di dalam pasal 351 luka memar bisa dipersangkakan namun dalam keadaan korban bisa melakukan aktifitas sehari-hari jadi patut diterapkan pasal 352 KUHP. Pada penerapan pasal nya selain atau bisa dengan primer subsider jadi tidak dengan kalimat dan. Selain itu dasar penerapan pasal 44 UU RI no 23 tahun 2004 tentang KDRT tidak terpenuhi disebabkan surat nikah no 0126 007?/1V2023 - 3304051042023007 pada hari kamis tanggal 20 April 2023 sebagai anggota Polri Pemohon belum mendapat surat ijin kawin/nikah dari pinpinan/atasannya, hanya menggunakan surat keterangan yang dipaksakan oleh diri Pelapor Fitria Dwi Ratnasari, sehingga produk buku nikah yang diterbitkan KUA  Bawang Banjarnegara Jateng cacat administrasi /prosedur persyaratannya Batal secara hukum/dapat di cabut/ demi hukum harus di batalkan.   

 

2.            Bahwa oleh karena Pemohon telah menjalani masa penahanan sejak tanggal 11 September 2023, penahanan yang telah di keluarkan Termohon, maka akibat penetapan tersangka dan penahanan yang tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, telah secara nyata menurut hukum mengakibatkan nama baik Pemohon dan keluarga Pemohon menjadi rusak dan tercemar sehingga membuat Pemohon meminta agar Termohon melakukan Rehabilitasi nama baik Pemohon dan Keluarga sebagaimana ketentuan pasal 97 ayat 3 KUHAP dan telah merampas hak kebebasan Pemohon untuk berkumpul dengan keluarga serta kebebasan Pemohon untuk melakukan aktifitas sehari-hari, maka telah secara nyata menurut hukum mengakibatkan kerugian bagi Pemohon yakni kerugian materil dan immaterial yang tidak dapat dihitung dengan uang, namun untuk kepastian hukum dengan ini Pemohon menentukan kerugian yang diderita adalah sebesar Rp. 100..000.000,00- (seratus juta rupiah) sebagaimana ketentuan pasal 95 KUHAP Jo pasal 9 ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 92 tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.

 

 

PETITUM

 

Bahwa berdasarkan  dalil-dalil Permohonan fakta yuridis diatas, Pemohon memohon Kepada Ketua Pengadilan Negeri Palangka Raya cq. Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa perkara Praperadilan ini untuk memanggil Pemohon dan Termohon serta memeriksa, mengadili dan mmmemutus perkara ini dengan Amar Putusan sebagai berikut :

 

1.            Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan dan Permintaan Ganti Rugi Pemohon untuk seluruhnya;  

 

2.            Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka  pada  tanggal  11 September 2023  dengan  sangkaan melakukan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Penganiayaan  sebagaimana Surat Penetapan tersangka nomor ; S .TAP/76/IX/RES.1.24./2023/Ditreskrimum yang tidak sah demi hukum harus di batalkan;

 

3.            Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih  lanjut oleh Termohon dan  berkenaan dengan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon, serta memerintahkan  kepada  Termohon  untuk  menghentikan  penyidikan  terhadap diri Pemohon;

 

4.            Menyatakan Penahanan yang dilakukan Termohon terhadap diri Pemohon sesuai surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/ 68 /IX/RES.1.24/2023/Ditreskrimum adalah tidak sah dan cacat hukum;

 

5.            Merehabilitasi Nama Baik Pemohon disertai dengan Memulihkan  hak-hak Pemohon pada   kemampuan, kedudukan dan  harkat serta martabatnya;

 

 

6.            Menghukum Termohon untuk membayar ganti kerugian Pemohon sebesar Rp.  100.000.000,00,- (seratus juta rupiah);

 

7.            Memerintahkan Negara dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia Cq. Menteri Keuangan (turut Termohon) untuk Membayar Kerugian Immateril kepada Pemohon sebesar Rp. 1. 000.000.000,00-  ( satu milyar rupiah) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja.

 

8.            Membebankan kepada Termohon untuk menerima salinan Putusan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari dan meminta maaf kepada Pemohon melalui Media Massa baik cetak maupun elektronik selama 1 (satu) minggu berturut-turut;

 

9.            Menghukum Termohon untuk membayar biaya  perkara Praperadilan ini sesuai ketentuan perundang-undangan yang  berlaku;

 

Atau Apabila Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)

Demikian Permohonan Praperadilan ini kami sampaikan. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

Pihak Dipublikasikan Ya